"…Thinking about the heavy past, the tears fell freely.
This desire won’t disappear.
It's impossible for me to forget…"[—Iwase Ken, Proposal Daisakusen]
形而上的月と花 (c) 36 |
Kadang saya kagum bagaimana cepatnya suasana hati saya bisa berubah.
Halo, saya melaporkan kondisi hari ini adalah hujan deras tanpa lampu. Berdiri di bawah hujan, kuyup oleh butir tajam yang kejam itu. Ya. Ya, itu. Air mata yang lain.
Ketika saya mencoba berlari ke satu sisi untuk berhenti menyiksa diri, saya akan menemukan kenyataan bahwa sesungguhnya saya tidak pernah berhenti membohongi diri sendiri. Menyedihkan, menyedihkan.
Saya bisa melihatnya: kehidupan, masa depan, masa sekarang—namun saya masih belum bisa meninggalkan masa lalu. Jejak-jejak sialan itu mengikuti saya kemana saja. Setiap sederet kata, seulas gambar, seuntai melodi, apa saja yang menyerupai jejak-jejak itu, saya akan menangis.
Konyol.
Saya tidak pernah menyangka akan seperti ini akhirnya. Bahwa setelah segala keteguhan hati ketika itu, saya adalah orang yang berakhir menangisi segalanya. Tidak, saya tidak pernah menyesalinya—apapun. Saya hanya menangisi-nya.
Anda pasti tertawa melihat saya sekarang, Tuan Masa Lalu.
***
Banyak hal nyata yang saya lalui. Waktu berjalan terlalu cepat. Kewajiban, amanah, tanggungjawab—seluruhnya menuntut perhatian. Kadang saya begitu lelah dan ingin menghilang saja. Yah, tidak semudah menuliskannya. Bagaimanapun, semua itu pilihan saya.
Selama menjalani studi, saya bertemu banyak hal, mengamati macam-macam wajah kehidupan manusia. Salah satunya adalah keegoisan.
Bagaimana mungkin hal yang seperti itu disebut tidak egois? Untuk pertama kalinya selama hidup, saya benar-benar melihat betapa tidak seimbangnya keegoisan saya. Apa yang saya perjuangkan? Apa yang saya bela sebenarnya? Apa yang mati-matian saya pertahankan hingga mengorbankan sesuatu yang begitu (terlalu) berharga?
Nihil.
Semuanya hanyalah baying-bayang abstrak. Pada akhirnya, ketika saya menggapai semua itu, tidak ada yang tersisa di bawah kaki saya.
Keegoisan itu mengerikan. Semuanya menyebalkan, karena saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa melakukan seperti itu—menistai tanggungjawab dan lainnya. Konyol. Padahal tidak satu pun orang bisa melakukan keegoisan seperti saya—mendustai kasih saying,
Lucu sekali.
Inikah yang Anda katakan ketika itu, Tuan? Saya yang keras kepala tidak akan mengakui sebelum melihat—merasakan—sendiri segalanya. Bukan berarti Anda adalah Tuan Selalu Benar, tapi saya cukup mengerti beberapa titik kesalahan saya.
Ah. Terlalu banyak melewatkan hari seperti ini membuat saya gila.
Terlalu banyak waktu yang disia-siakan. Tetap, saya tidak bisa membawa diri saya menuju kebangkitan untuk menata ulang seluruhnya. Bisa dikatakan, segala sisi kehidupan saya berantakan. Hancur. Porak poranda. Segalanya tinggal serpihan.
Saya tenggelam di dalam seluruhnya, dan bahkan tidak bisa melakukan sesuatu untuk membersihkan kekacauan itu.
Berusaha merajut tali-tali harapan dan berpegang pada mereka. Satu, dua, tiga, mungkin empatbelas hari saya bisa bertahan. Tapi kemudian satu pecahan menusuk, melepaskan pegangan pada tali itu, dan menyeret saya kembali pada keputusasaan.
Yang paling mengerikan adalah… saya terlalu realistis untuk sekedar menjadi seorang gadis melankolis yang minta dikasihani. Yang paling mengerikan adalah… terlepas dari segala ketidakberhinggaan ini, saya menjalani hidup dengan rutinitas normal seperti biasanya. Yang paling mengerikan adalah… saya tidak tahu lagi apakah senyum dan tawa di wajah saya adalah palsu.
Yang paling mengerikan: segalanya berubah, namun tidak sama sekali pada saat yang bersamaan.
Lalu, apakah salah jika saya hanya bisa menabrak segala serpihan kacau di sepanjang proses keluar dari reruntuhan? Tidak salah, sama sekali. Yang salah adalah fakta bahwa itu hampir berlangsung selama dua tahun tanpa henti.
Saya tidak pernah jatuh sedalam ini sebelumnya.
***
Halo, saya melaporkan kondisi hari ini adalah hujan deras tanpa lampu. Hanyut terbawa air hitam kemerahan yang tergenang. Ya.
Ya, itu. Air mata yang lain.
Saya merindukanmu, Matahari.