"...instead of regretting about the past,what's most important is to change the presentfor the future." [—The Fairy, Proposal Daisakusen]
帰路 (c) 36 |
Belakangan ini, banyak hal yang saya pikirkan. Kekosongan waktu yang sedikit lebih banyak dari biasanya membuat berbagai untaian tema menari di kepala saya. Bukan—kali ini bukan mengenai memori maupun masa lalu. Kali ini mengenai masa sekarang.
Ironis. Saya baru saja selesai dengan sebuah dorama Jepang berjudul Proposal Daisakusen dan 24 episode anime Fate/Stay Night—keduanya adalah hasil rampokan dari seorang teman. Dua kisah yang sama sekali berbeda. Yang satu drama bertema real-life fantasy dengan unsur humor dan persahabatan yang kental. Begitu hangat—terlalu hangat sampai membuat saya hampir muak. Yang satu animasi bertema supernatural fantasy dengan unsur action berbumbu romens. Begitu tidak nyata—terlalu tidak nyata sampai mengingatkan saya akan mimpi. Bagaimanapun, di akhir, kedua kisah itu menyampaikan sebuah pesan yang hampir sama, yang saya simpulkan sendiri:
--Bagaimanapun kau mengubah masa lalu, semua perubahan itu tidak ada artinya untuk masa depan—kecuali kau berani mengubah dirimu sekarang.
--Kau tidak bisa mengulang sesuatu yang kau lakukan di masa lalu. Kau bisa saja kembali ke masa lalu, tapi apakah itu yang benar-benar kau inginkan? Mengapa kau tidak berharap untuk masa sekarang—untuk senyummu di masa depan?
How ironic, really. Karena itulah yang tengah berputar di kepala saya selama beberapa waktu terakhir. Banyak hal yang saya lalui, banyak kebingungan yang saya temui, dan banyak kesedihan yang saya tangisi. Segalanya membuat saya merasa seperti tidak sedang menjadi diri saya sendiri. Lama sekali rasanya—berapa?—dua tahun? Tanpa akhir, pikiran-pikiran ini.
Entah bagaimana, belakangan ini saya merasakan suatu ketenangan batin yang menentramkan. Dalam sela-sela kesendirian, saya mulai berpikir ulang tentang banyak hal. Tentang keputusan-keputusan, kemarahan-kemarahan, kesedihan-kesedihan, dan sedikit kenangan-kenangan.
Saya baru menyadari sesuatu. Dalam beberapa waktu terakhir, saya merasa seperti sedang menyiksa diri sendiri dengan melakukan banyak kesalahan dalam kehidupan. Seolah semua pilihan kehidupan yang saya ambil kebetulan mengantarkan saya hanya pada kegelapan. Namun—ini baru saya sadari, ternyata setelah semua yang saya alami, saya tidak pernah menyesali segalanya.
Tidak pernah sekali pun, saya menyesali pilihan-pilihan kehidupan yang saya ambil. Saya menangis, ya—tapi saya tidak pernah berpikir seperti: ‘Seandainya saja dulu aku…’. Tidak pernah. Dan saya begitu terkejut bahwa ternyata saya tidak senista apa yang saya anggap selama ini.
Konyol sekali (dan saya mengetik ini dengan senyum pahit, sungguh). Begitu banyak waktu yang saya habiskan untuk menangisi sesuatu yang bahkan saya sendiri tidak mengerti. Lalu, sekarang, begitu saja sesuatu seperti mengisi hati saya dan seolah menenangkan saya atas segala pikiran-pikiran absurd ini.
Tidak, ini bukan fanfiksi. Saya yang paling tahu seberapa sering tema dan diksi semacam ini termanifesti dalam karya saya. Sulit dipercaya saya benar-benar mengalaminya sendiri. Memang abstrak, benar.
Sekarang—apa? Ada banyak hal yang ingin saya inginkan. Sebagian besar di antaranya adalah hal-hal yang sebelumnya saya label tabu dalam prinsip hidup. Dulu—beberapa waktu lalu?—saya akan menangisi diri sendiri karena bisa-bisanya menginginkan sesuatu yang tidak boleh. Tapi sekarang—ya, detik ini—agaknya saya merasa lebih tenang dan mulai memandang dari sudut yang berbeda.
Segala hal berubah.
Dunia—dan saya. Perubahan selalu menjadi sesuatu yang saya benci diam-diam—fakta ini juga baru saya temukan beberapa waktu lalu dalam sebuah perjalanan mengeluarkan semua memori kehidupan dalam bentuk tulisan. Saya selalu takut dan menghindari perubahan.
Saya tahu itu. Kegelisahan tanpa akhir ini adalah bentuk kekhawatiran terhadap diri sendiri. Saya tahu—karena saya mulai berubah. Terlalu banyak hal yang berbeda, dan saya membenci diri saya karena itu.
Itu masa lalu. Lembar kemarin.
Namun ini bukan kisah drama. Saya tidak bisa begitu saja menerima perubahan. Namun saya tahu—ya, saya yakin—sesuatu sedang mengikis idealisme tak berdasar di hati saya ini.
Saya ingin berdiri di masa sekarang—tempat dimana saya masih tetap bisa memandang jejak saya di masa lalu dan mengagumi bentangan keindahan yang menjadi misteri masa depan. Saya bisa saja menangisi masa lalu, atau berharap segalanya berubah—tapi saya sesungguhnya tidak benar-benar ingin kembali.
Jika merasakan hembusan angin, seraya berjalan menyusuri jalan kampus yang teduh, yang ingin saya lakukan hanyalah tersenyum.
Saya merasa hidup.
Hidup memang selalu berputar. Jika ada seseorang yang mungkin selalu berputar di kepala saya selama setahun terakhir, dan kebetulan membaca tulisan ini, maka saya hanya ingin Anda tahu bahwa saya tidak menyesali segalanya. Ya, masa lalu itu memang menyedihkan, karena itu keputusan dan pilihan saya—atau Anda juga. Saya tidak ingin menangisi masa itu, atau berharap kembali. Saya pernah menulisnya, Anda tahu? Jejak hati. Biarkan jejak itu ada di belakang saya yang sekarang. Saya hanya ingin… jika suatu saat bertemu dengan Anda lagi, saya tahu bahwa segala yang sudah saya lalui tidak sia-sia.
Yang ingin saya ubah adalah masa sekarang—agar saya bisa tersenyum di masa depan.
Terima kasih Kehidupan, karena telah memutar kembali dunia saya dengan keindahan. Untuk saya yang sekarang, hanya butuh menjalani hari-hari dengan apa adanya.
“…Tell it to those who look at who we are now:The ordinary every day is a miracle tooWe ourselves are an unfolding miracle
What we should look for is not something ‘special’It is the miracle right before our eyesCalled our ordinary days…”
[—Ikimono Gakari, Kokoro no Hana wo Sakaseyo]
Be First to Post Comment !
wow farah.. *thumbs up
*face palm*
Malu ah. Hahaha.
Post a Comment