“And I began to feel sorry for myself; for so many years, my drawer full of memories had held the same old stories.”
― Paulo Coelho; By the River Piedra I Sat Down and Wept
悼むひと (c) katsuo |
Air mata. Tawa miris.
Terlalu banyak kesedihan untuk dimaafkan.
***
Sesungguhnya jarum jam itu tidak pernah bergerak.
Saya mungkin adalah orang yang hidup di masa lalu. Mencari pembenaran, mengharap penerimaan. Tidak, tidak pernah, beranjak sedikit pun dari sana.
Semua datang dan pergi. Tidak seperti ini hal yang baru. Selalu, selalu, terulang kembali. Pada akhirnya saya hanya akan tersenyum dan berkata, "It's okay; this kind of pain is nothing." Seolah saya adalah masokis yang diludahi takdir.
It hurts. It hurts so much that I feel like dying.
Bukan drama. Bukan luka gores. Bukan suara parau.
Ini refleksi. Pantulan.
Karena saya tidak pernah beranjak dari mana pun.
Abadi.
Pemandangan yang sama. Senyum yang sama.
Kata maaf yang sama.
Kemudian esok datang dan saya akan melupakannya.
Terus, terus, sampai akhirnya seseorang datang dan menghujamkan rasa sakit ini kembali.
Kemudian saya akan, "Ah. Lagi? It's okay; I've gone through these..."
Mati. Biar saja mati.
Biar saja membusuk sampai tuli.
Saya tetap saja berdiri di sini.
***
Tanpa warna: menuju lembar akhir 2012.
Be First to Post Comment !
Post a Comment