Sebuah fanfiksi. Di-publish di fanfiction.net pada 14 Juli 2009. Bagian 1 dari 3.
.
¶ AKU
HAL PERTAMA yang terpantul di mataku saat aku terlahir sebagai arrancar* adalah kegelapan. Langit hitam, serta bulan sabit lengkung yang tak pernah berganti posisi menjadi sarang bagiku.
Ulquiorra Schiffer. Itulah kalimat pertama yang kuucapkan kepada Aizen-sama.
Aku makhluk kegelapan. Sang Kelelawar yang selalu mencari mangsa di malam hari. Setidaknya sampai Aizen-sama mengenalkanku pada cahaya, mengukir kekuatan baru di dalam tubuhku.
Hari di mana Aizen-sama menginjakkan kaki di Hueco Mundo, detik itulah aku menjadi makhluk paling setia di sisinya.
Namaku Ulquiorra Schiffer. Simbol kepatuhan dan kesetiaan.
Akulah Sang Kelelawar, yang telah mempersembahkan hidupnya hanya untuk Aizen-sama.
.
#
.
¶ DIA
NAMANYA INOUE ORIHIME. Gadis yang telah melintas di dalam pandangan mata Aizen-sama. Menuntun Sang Penguasa kepada sebuah rencana sempurna untuk menghancurkan kota Karakura.
Entah mengapa, seperti memahami kesetiaanku yang tak tersaingi, Aizen-sama telah memilihku untuk membawa gadis itu ke Las Noches.
Dan saat ini, aku telah berhadapan dengannya. Dia memiliki ekspresi menarik—sesuai dengan perkiraan.
"Kau mengerti, onna*? Ini bukanlah negosiasi. Ini perintah." Kulihat perubahan dalam wajahnya. Tekanan telah maksimum. Aku tahu pasti bahwa hatinya telah memilih pilihan satu-satunya.
Tinggal sentuhan terakhir agar sempurna…
"Ini terakhir kali aku mengatakannya…" kutatap lekat-lekat gadis berambut oranye itu sebelum melanjutkan, "…Ikutlah denganku, onna."
Dengan itu dia telah jatuh sempurna ke tangan Aizen-sama.
.
#
.
¶ PENCURI
MENCURI? Aizen-sama tidak memerintahkanku untuk melakukan hal rendah seperti itu. Aku tidak melakukan perbuatan rendah seperti mencuri –atau menculik.
Semuanya sederhana. Inoue Orihime hanya perlu memilih. Seperti yang sudah kukatakan, aku tidak bernegosiasi. Aku memberi perintah dan gadis itu hanya perlu memilih. Sederhana bukan?
Tidak percaya?
Baiklah, aku mengaku.
Aizen-sama, melalui diriku, adalah pencuri. Kami telah mencuri kesempatan gadis itu untuk memilih 'tidak'.
.
#
.
¶ CURANG
INI BUKAN suatu kecurangan. Aizen-sama bahkan tidak butuh kata itu dalam kamusnya. Untuk apa mencurangi lawan yang lebih lemah?
Mencuri pilihan bukanlah kecurangan, melainkan taktik. Lagipula, aku memberinya waktu dua belas jam untuk mengucapkan salam perpisahan kepada satu orang, bukan?
Semua begitu sederhana dan sempurna. Tak bercela. Karya Aizen-sama sama sekali tidak pantas untuk disisipi kata tak bermakna seperti itu.
.
#
.
¶ HILANG
GELANG TELAH DIPAKAI. Reimaku* telah menyelimutinya dan aku mampu merasakan reiatsu* gadis itu. Para arrancar mampu. Namun tidak dengan para shinigami dan manusia normal.
Segera setelah ia menggunakan gelang itu, ia mampu menembus segala objek berfisik. Segera setelah itu pula, ia menghilang dari semua manusia.
Hilang tak terlacak. Tak terlihat, tak terdengar, tak teraba, bahkan tak terasa.
Sempurna.
.
#
.
¶ KERTAS
INOUE ORIHIME BERJALAN keluar dari apartemennya. Dari atas, aku mengawasi kepergian gadis itu yang segera menghilang menembus dinding rumah-rumah di bawah sana.
Seperti menuruni anak tangga, aku berjalan melayang di udara. Aku menyusuri jalanku, lalu masuk menembus dinding ruangan apartemen kecil yang tadi ditinggalkan gadis itu.
Ruangan yang mungil dan rapih. Hanya tampak sebuah meja bundar kontras yang berada di tengah kamar.
Hamparan putih bergaris terlihat di atas meja, ditemani sebatang pena mungil yang tergeletak di sampingnya.
Aku menatap kertas putih itu. Halaman kiri terisi coretan dengan kata-kata biasa. Seperti pesan untuk beberapa orang yang menetap di rumahnya. Baiklah, kurasa ini tidak melanggar ketentuan.
Menelusuri setiap coretan tangan yang sederhana itu, mataku akhirnya menangkap coretan kecil di ujung kanan kertas. Di tempat tak bergaris, dicoret tipis dan halus.
Good bye, halcyon days?
.
#
.
¶ CINTA
AKU MEMPERHATIKAN gorden jendela yang bergoyang tak jauh dari kakiku yang mengambang di udara. Telingaku mengawasi dengan seksama segala perkataan yang meluncur dari gadis berambut oranye di dalam sana.
"Oh… seandainya saja aku mempunyai lima kehidupan yang berbeda dalam umurku," kudengar ia mulai bicara lagi. Entah pada siapa. Sejak tadi tak ada satu suara pun yang menanggapi perkataan gadis itu.
Tentu saja. Jika ada, maka gadis itu telah melanggar perjanjian. Dan artinya, misiku tidak lagi sempurna. Untuk mengantisipasi hal itulah aku berdiri di sini sekarang.
"… dan dalam lima kehidupan itu pula…" terdengar suara yang agak rendah dari sebelumnya, memancingku untuk kembali mendengarkan.
Gorden bergeser. Dari belakang, aku bisa melihat sebagian tubuh gadis itu yang berdiri tegak, menyilangkan tangannya ke depan paha.
"… aku akan jatuh cinta pada orang yang sama," bisik gadis itu kemudian.
Aku terdiam.
Cinta?
.
#
.
¶ BINTANG
BERDIRI DI ATAS rerumputan hijau yang halus, aku mengamati sekelilingku: sungai yang membelah kota Karakura, langit malam, dan bintang.
Sudah hampir waktu perjanjian. Sebentar lagi gadis itu akan datang kemari, setelah melakukan semua yang sudah diperintahkan.
Aku melempar pandang ke hamparan langit luas di atasku. Benda-benda berkelap-kelip menjadi teman lengkung bulan keemasan yang melayang di udara.
Hitam. Bulan. Mengingatkanku pada Hueco Mundo.
Semua begitu mirip. Hanya sinar-sinar kecil yang berbeda.
Bintang. Satu lagi wujud yang tak pernah kulihat sebelumnya. Wujud yang kini menemaniku menunggu.
.
#
.
¶ SYARAT
DUA BELAS jam. Waktu yang sungguh lebih dari cukup bagi gadis itu untuk meninggalkan pesan bahwa dia telah meninggalkan dunia nyata dengan keinginan sendiri.
Ia telah mengucapkan perpisahan yang tidak kumengerti kepada pemuda shinigami berambut oranye. Kata-kata yang tidak bisa kupahami.
Tidak penting, yang jelas, segala persyaratan telah dipenuhi.
Gelang yang menghilangkan eksistensi gadis itu di dunia nyata, waktu dua belas jam, dan tanda perpisahan hanya kepada satu orang saja, itu pun tidak boleh sampai orang tersebut mengetahui.
Rumit? Aizen-sama memang perancang yang jenius bukan?
Nah, syarat sudah dipenuhi. Waktunya kembali.
.
#
.
¶ PENUMPANG
AKU BERJALAN menyusuri kegelapan tak berujung. Bulatan putih yang mengambang di udara adalah satu-satunya objek fisik yang mampu dilewati. Seperti karpet bundar yang terbang, pijakan yang terbuat dari pembekuan reiatsu-ku terus melayang menyusuri pekatnya dimensi.
Sebenarnya, sebagai espada*, aku bisa saja langsung menembus kegelapan dan tiba di Hueco Mundo. Tapi tidak saat ini.
Kulirik penumpang di belakangku. Seorang gadis berambut oranye panjang yang sedang memandang nanar pada kegelapan pekat disekitar kami.
"Berhati-hatilah dengan langkahmu, atau kau akan terjatuh dan tertelan kegelapan," gumamku sambil kembali menatap kegelapan yang mulai mengerucut di depanku.
Meski tak mendengar jawaban, kurasakan gadis itu maju selangkah, nyaris menempelkan diri ke punggungku.
Penumpangku kali ini agaknya sedikit pendiam.
.
#
.
¶ PULANG
HUECO MUNDO, tanah yang berpasir dengan langit yang tak pernah menjadi siang. Las Noches, istana megah berwarna putih yang terlihat seperti fatamorgana di tengah gurun.
Tak ada yang berbeda dalam perjalanan pulang ini. Selain manusia hidup yang kubawa untuk Aizen-sama.
"Aku kembali, Aizen-sama," ujarku sopan sambil membungkukan tubuhku di hadapan pilar setinggi lima meter, dimana di atasnya, Aizen-sama duduk di kursi kehormatannya.
Aku tahu ia tersenyum ketika ia bergumam, "Kau sudah pulang, Ulquiorra?"
Sambil mengangkat kepala untuk menatap penguasaku, kakiku berayun menyamping. Membiarkan gadis di belakangku terlihat jelas oleh mata Aizen-sama.
"Selamat datang, di kastil kami: Las Noches," sapaan Aizen-sama kepada gadis itu bergema di ruangan.
Aku memejamkan mata. Dalam hatiku merekah kepuasan.
Misi telah kujalankan dengan sempurna. Gema suara indah Aizen-sama adalah bukti bahwa aku sudah pulang dengan tidak mengecewakan.
.
#
.
¶ MUSIK
INOUE ORIHIME mendemonstrasikan kemampuannya sesuai perintah Aizen-sama. Ia mengembalikan lengan kiri Grimmjow yang telah dihancurkan oleh Tousen-sama beberapa minggu lalu.
Rupi memandang tak percaya, setengah histeris karena emosi memenuhi perasaannya. Ia mengajukan rentetan protes tak berujung kepada Aizen-sama.
Makhluk menyedihkan. Ia tak pantas berdiri dalam lingkaran espada. Ya, bagaimanapun, semua sudah teratur dalam perhitungan Aizen-sama.
Membuat Tousen-sama menghancurkan lengan Grimmjow, mencabut Grimmjow dari daftar espada, membuat Rupi menggantikan posisi menjadi Sexta Espada*, lalu membiarkan Inoue Orihime mengembalikan lengan Grimmjow. Rencana jenius Aizen Sama telah terlaksana tanpa meleset sedikit pun. Kemudian seperti perkiraan, Grimmjow membinasakan Rupi—hanya dengan sekali serang. Sebuah cero tingkat rendah setelah lengannya kembali.
"Kembali…" terdengar bisikan penuh senang ketika serpihan terakhir tubuh Rupi menghilang dari pandangan. "KEKUATANKU TELAH KEMBALI!" Grimmjow berteriak histeris, bergema di ruangan besar milik Aizen-sama. "AKULAH NOMOR ENAM…"
Aku menutup kedua mataku, sekali lagi mengagumi kejeniusan Aizen-sama yang tanpa cela.
"…SEXTA ESPADA! GRIMMJOW! HAHAHAHAHAHAHA!" tawa menggelegar dan bergema di sekeliling kami.
Tanpa membuka mata pun, aku tahu bahwa Aizen-sama sedang tersenyum. Satu lagi musik indah di telinganya telah mengalun. Tawa penanda kesempurnaan rencana Aizen-sama.
.
#
.
¶ LABIRIN
SUARA LANGKAH kaki bergema di lorong panjang Las Noches. Dinding-dinding putih identik serta lantai berkeramik hitam yang memantulkan bayangan siapa pun yang melewati, menjadi teman kami dalam menyusuri lorong terang ini.
Ratusan langkah kemudian, aku berhenti di depan sebuah pintu tebal berwarna putih. Membuka pelan pintunya, aku meminggirkan tubuh agar sosok di belakangku bisa masuk.
"Ini kamarmu," ujarku.
Gadis berambut oranye di belakangku masuk perlahan. Matanya diam-diam menjelajahi seisi ruang itu. Sebuah sofa putih empuk, meja kecil berbentuk bundar, karpet, dan jendela berteralis besi yang menampakkan lengkung bulan.
"Tetaplah di sini dan tenanglah," ujarku ketika gadis itu menatapku.
Kulihat ia mengangguk pelan. Aku baru saja akan melangkah keluar ketika teringat satu pesan lagi.
Tanpa melirik, aku berujar, "Jangan sekali-sekali kau berkeliaran. Kau akan tersesat." Kemudian aku memutar kepalaku sedikit, menatapnya sedetik sebelum melanjutkan dan keluar, "Karena kastil ini seperti labirin."
Menutup pintu, aku lalu berjalan menyusuri lorong sempit berdinding putih.
Ya, tempat ini bagaikan labirin tak berujung. Sekali masuk, mungkin tak akan pernah bisa keluar lagi.
.
#
.
¶ LAPAR
AKU MEMBUKA lebar pintu putih di hadapanku. Kulihat Inoue Orihime, masih dalam balutan seragam sekolahnya, duduk diam di sofa. Nyaris tidak mendengar kedatanganku.
"Aku membawa makanan," sahutku, menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
Gadis itu terkejut menyadari keberadaanku. Ia buru-buru berdiri, lalu berujar pelan, "Aku tidak lapar…"
Seorang arrancar suruhanku masuk membawa makanan. Setelah arrancar itu keluar, aku mendekati gadis berambut oranye itu.
"Makan itu."
Diam sejenak. "Aku tidak lapar," sahutnya tanpa melihatku.
Aku mendekat, membuat gadis itu menatap langsung mata hijauku. "Kau ada untuk Aizen-sama. Sekarang ini, Aizen-sama belum membutuhkanmu. Sampai saat itu tiba, kewajibanmu hanyalah menjaga diri."
Gadis di hadapanku menundukkan kepalanya.
"Aku tidak peduli kau lapar atau tidak. Sekarang makan, sebelum aku sendiri yang akan menelankan paksa makanan itu ke kerongkonganmu."
Dengan itu, ia membuang kata 'tidak' dalam pernyataan sebelumnya.
.
#
.
¶ MALAM
MASIH DI kamar yang sama, aku berdiri di dekat pintu. Aku diam. Mengamati dan menunggu gadis di ujung sana menyelesaikan makan malamnya.
Benar. Makan malam.
Aku melempar pandang ke satu-satunya jendela di kamar itu. Melalui teralis, yang mampu kulihat hanyalah lengkung bulan dan langit hitam.
Setiap waktu makan adalah makan malam, karena setiap saat adalah malam di Hueco Mundo.
.
#
.
¶ AIR
MENUNGGU. Masih itu yang kulakukan di kamar putih ini.
Mataku mengawasi gadis berambut oranye yang dengan perlahan menyuapkan makanan ke mulut mungilnya. Rasa tak sabar mulai menggerayangiku. "Begitu kau menyelesaikan makanmu, kita pergi," ujarku datar.
Hening tapa jawaban.
Hanya melodi sendok besi beradu dengan piring putih. Sangsi bahwa gadis itu mendengarnya, aku mendekat dan bergumam kembali, "Aizen-sama ingin bertemu denganmu."
Membulatkan mata, gadis itu menjatuhkan sendoknya.
Baiklah, kurasa ia mendengarku sekarang.
Lalu dengan bantuan segelas air bening yang bersinar terkena pantulan cahaya bulan, ia berhasil menelan suapan terakhirnya dengan selamat.
.
#
.
¶ DINGIN
INOUE ORIHIME BERJALAN pelan, mengikutiku dari belakang. Kami berhenti, lalu kembali ke ruangan putih yang baru ditinggalkan beberapa menit untuk menghadap penguasa Las Noches.
Gadis itu melangkah masuk. Aku mengikutinya, kemudian bergumam pelan, mengulang perintah Aizen-sama dengan bahasaku, "Pakai itu."
Mataku mengarah kepada selembar pakaian putih yang terlipat rapih di atas sofa. Gadis berambut oranye itu mendekat perlahan, meraih pakaian itu dan membentangkannya.
Aku berujar ketika melihat pakaian putih khas para arrancar di tangan mungilnya, "Sekarang kau adalah bagian dari kami."
Inoue Orihime mengangguk patuh, tanpa melirik sedikit pun. Tangannya mendekap pakaian putih tadi di dada.
Kali ini bukan perintah Aizen-sama. Hanya kata-kata yang meluncur begitu saja dari bibirku. "Lebih baik kau cepat memakainya. Udara Hueco Mundo terlalu dingin untuk manusia sepertimu," sahutku datar.
Rambut oranye bergoyang, gadis itu menoleh ke arahku. Memandang aneh sejenak sebelum kemudian menarik singkat bibirnya.
"Hai," jawabnya patuh.
.
#
.
¶ BISKUIT
PERTEMUAN DARURAT dilakukan tak lama setelah aku mengantar Inoue Orihime kembali ke kamarnya setelah bertemu Aizen-sama. Mengambil tempat di sebelah Primera Espada*—Stark, aku duduk di salah satu kursi putih dari sebelas kursi yang ada.
Terdengar gema langkah kaki, bersamaan dengan sapaan hangat dari Aizen-sama. Kulihat Ichimaru Gin dan Tousen Kaname berjalan di belakangnya.
"Selamat pagi, para espada," sapa Aizen-sama. "Kita telah diserang musuh," lanjutnya tanpa basa-basi.
Kemudian Aizen-sama duduk di kursi paling ujung, sehingga tepat sebelas kursi telah penuh terisi. Aizen-sama memberi pandangan hangat sejenak kepadaku yang duduk tepat di samping kirinya. Grimmjow di seberangku tampak tak acuh dengan kehadiran Aizen-sama. Sungguh makhluk yang tak pantas duduk di samping kanan Aizen-sama.
"Pertama-tama, aku rasa lebih baik kita perlu memanaskan teh terlebih dahulu…" gumam Aizen-sama.
Benar, tidak perlu terburu-buru. Kurosaki Ichigo dan teman-temannya tak akan menjadi gangguan sedikit pun bagi Aizen-sama.
"Bagaimana dengan sekaleng biskuit untuk sarapan?" Aizen-sama memberikan senyumannya kepada kami, kemudian memerintahkan seorang arrancar pelayan untuk membawakan sebelas cangkir teh serta piring-piring biskuit untuk semua espada.
.
#
.
¶ MANIS
GRIMMJOW BERLUTUT. Hanya dengan lirikan dan sedikit reiatsu dari Aizen-sama, ia berhenti bicara dan terduduk jatuh. Tentu saja. Aizen-sama adalah penguasa. Tidak boleh ada satu makhluk pun yang menentangnya.
Aizen-sama memerintahkan para espada untuk tenang dan menunggu. Menunggu hingga Kurosaki Ichigo dan teman-temannya yang datang sendiri ke tempat kami masing-masing. Tak ada komentar. Kata-kata Aizen-sama adalah mutlak.
"Jangan takut," ujar Aizen-sama. "Tidak peduli apa yang menghadang, selama kalian berada sejalan denganku, musuh seperti apapun…" ia memberi jeda sebentar, membiarkan kami meresapi kata-katanya. Lalu ia melanjutkan dengan sempurna, "… tidak akan pernah ada untuk kita."
Kesempurnaan. Jalan yang tampak dan mampu dilewati hanyalah jalan di samping Aizen-sama.
Beberapa saat kemudian, para espada kembali ke ruangannya masing-masing. Dalam sekejap, hanya tersisa aku, Aizen-sama dan Grimmjow yang masih berlutut.
"Ulquiorra…" panggilnya lembut.
Aku menatapnya, menanti perintahnya.
"Bukankah sebaiknya kau menghabiskan biskuit di piringmu?" tanyanya seraya melirik kepada sepiring kecil biskuit berbentuk lingkaran tepat di samping cangkir tehku.
Grimmjow melirik tajam kepada kami. Kemudian Aizen-sama bangkit berdiri, sekali lagi memperingatkan Grimmjow dengan kehalusan sikap yang luar biasa, seraya meninggalkanku terpekur di kursi yang sama.
Aku meraih sepotong kecil biskuit, menghiraukan kepergian Grimmjow, lalu mencicipinya segigit.
Manis, Aizen-sama.
.
#
.
¶ PUTIH
AKU MEMBUKA perlahan pintu putih tebal di depanku. Kupandang sekeliling ruangan dengan mata hijauku.
Inoue Orihime berdiri mematung memandang jendela berteralis. Jubah putih di punggungnya berkibar terhempas angin.
Seisi ruangan itu kini berwarna putih. Sofa, meja, karpet, dinding, lantai, hingga baju yang dikenakannya. Semua putih, kecuali rambut oranye panjang yang kontras dengan semua itu.
"Agak mengejutkan, pakaian itu ternyata cocok untukmu," ujarku sambil melangkah masuk setelah puas mengamati sekeliling.
"Waah! Ka—kapan kamu masuk ke sini?" Gadis itu terkejut, ia menoleh dan menatapku.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku mengayunkan kaki satu langkah sebelum berkata, "Ada laporan terbaru."
Mata gadis itu membulat tepat ketika aku menyampaikan berita tersebut. Bersamaan dengan itu, jubah putihnya kembali berkibar indah di bawah remang sinar bulan.
.
Fandom: Bleach
Karakter: Ulquiorra Schiffer; Inoue Orihime
Genre: Drama
Keterangan: Untuk Infantrum 50 Sentences Challenge
Ringkasan: Sang Kelelawar adalah makhluk paling setia. Hidupnya dihabiskan untuk mengabdi dan mencari arti. Ketika tiba-tiba saja muncul oranye, tanpa disadari sama sekali, warna itu telah perlahan-lahan meluruhkan pekat hitam hati Sang Kelelawar.
#
.
"…I'm only going to say it once more…Come with me, onna…"[Ulquiorra Schiffer to Inoue Orihime—Bleach chapter 234: Not Negotiation]
.
#
.
Sang Kelelawar
[SAYAP PERTAMA]
oleh: faria
.
#
.
¶ AKU
HAL PERTAMA yang terpantul di mataku saat aku terlahir sebagai arrancar* adalah kegelapan. Langit hitam, serta bulan sabit lengkung yang tak pernah berganti posisi menjadi sarang bagiku.
Ulquiorra Schiffer. Itulah kalimat pertama yang kuucapkan kepada Aizen-sama.
Aku makhluk kegelapan. Sang Kelelawar yang selalu mencari mangsa di malam hari. Setidaknya sampai Aizen-sama mengenalkanku pada cahaya, mengukir kekuatan baru di dalam tubuhku.
Hari di mana Aizen-sama menginjakkan kaki di Hueco Mundo, detik itulah aku menjadi makhluk paling setia di sisinya.
Namaku Ulquiorra Schiffer. Simbol kepatuhan dan kesetiaan.
Akulah Sang Kelelawar, yang telah mempersembahkan hidupnya hanya untuk Aizen-sama.
.
#
.
¶ DIA
NAMANYA INOUE ORIHIME. Gadis yang telah melintas di dalam pandangan mata Aizen-sama. Menuntun Sang Penguasa kepada sebuah rencana sempurna untuk menghancurkan kota Karakura.
Entah mengapa, seperti memahami kesetiaanku yang tak tersaingi, Aizen-sama telah memilihku untuk membawa gadis itu ke Las Noches.
Dan saat ini, aku telah berhadapan dengannya. Dia memiliki ekspresi menarik—sesuai dengan perkiraan.
"Kau mengerti, onna*? Ini bukanlah negosiasi. Ini perintah." Kulihat perubahan dalam wajahnya. Tekanan telah maksimum. Aku tahu pasti bahwa hatinya telah memilih pilihan satu-satunya.
Tinggal sentuhan terakhir agar sempurna…
"Ini terakhir kali aku mengatakannya…" kutatap lekat-lekat gadis berambut oranye itu sebelum melanjutkan, "…Ikutlah denganku, onna."
Dengan itu dia telah jatuh sempurna ke tangan Aizen-sama.
.
#
.
¶ PENCURI
MENCURI? Aizen-sama tidak memerintahkanku untuk melakukan hal rendah seperti itu. Aku tidak melakukan perbuatan rendah seperti mencuri –atau menculik.
Semuanya sederhana. Inoue Orihime hanya perlu memilih. Seperti yang sudah kukatakan, aku tidak bernegosiasi. Aku memberi perintah dan gadis itu hanya perlu memilih. Sederhana bukan?
Tidak percaya?
Baiklah, aku mengaku.
Aizen-sama, melalui diriku, adalah pencuri. Kami telah mencuri kesempatan gadis itu untuk memilih 'tidak'.
.
#
.
¶ CURANG
INI BUKAN suatu kecurangan. Aizen-sama bahkan tidak butuh kata itu dalam kamusnya. Untuk apa mencurangi lawan yang lebih lemah?
Mencuri pilihan bukanlah kecurangan, melainkan taktik. Lagipula, aku memberinya waktu dua belas jam untuk mengucapkan salam perpisahan kepada satu orang, bukan?
Semua begitu sederhana dan sempurna. Tak bercela. Karya Aizen-sama sama sekali tidak pantas untuk disisipi kata tak bermakna seperti itu.
.
#
.
¶ HILANG
GELANG TELAH DIPAKAI. Reimaku* telah menyelimutinya dan aku mampu merasakan reiatsu* gadis itu. Para arrancar mampu. Namun tidak dengan para shinigami dan manusia normal.
Segera setelah ia menggunakan gelang itu, ia mampu menembus segala objek berfisik. Segera setelah itu pula, ia menghilang dari semua manusia.
Hilang tak terlacak. Tak terlihat, tak terdengar, tak teraba, bahkan tak terasa.
Sempurna.
.
#
.
¶ KERTAS
INOUE ORIHIME BERJALAN keluar dari apartemennya. Dari atas, aku mengawasi kepergian gadis itu yang segera menghilang menembus dinding rumah-rumah di bawah sana.
Seperti menuruni anak tangga, aku berjalan melayang di udara. Aku menyusuri jalanku, lalu masuk menembus dinding ruangan apartemen kecil yang tadi ditinggalkan gadis itu.
Ruangan yang mungil dan rapih. Hanya tampak sebuah meja bundar kontras yang berada di tengah kamar.
Hamparan putih bergaris terlihat di atas meja, ditemani sebatang pena mungil yang tergeletak di sampingnya.
Aku menatap kertas putih itu. Halaman kiri terisi coretan dengan kata-kata biasa. Seperti pesan untuk beberapa orang yang menetap di rumahnya. Baiklah, kurasa ini tidak melanggar ketentuan.
Menelusuri setiap coretan tangan yang sederhana itu, mataku akhirnya menangkap coretan kecil di ujung kanan kertas. Di tempat tak bergaris, dicoret tipis dan halus.
Good bye, halcyon days?
.
#
.
¶ CINTA
AKU MEMPERHATIKAN gorden jendela yang bergoyang tak jauh dari kakiku yang mengambang di udara. Telingaku mengawasi dengan seksama segala perkataan yang meluncur dari gadis berambut oranye di dalam sana.
"Oh… seandainya saja aku mempunyai lima kehidupan yang berbeda dalam umurku," kudengar ia mulai bicara lagi. Entah pada siapa. Sejak tadi tak ada satu suara pun yang menanggapi perkataan gadis itu.
Tentu saja. Jika ada, maka gadis itu telah melanggar perjanjian. Dan artinya, misiku tidak lagi sempurna. Untuk mengantisipasi hal itulah aku berdiri di sini sekarang.
"… dan dalam lima kehidupan itu pula…" terdengar suara yang agak rendah dari sebelumnya, memancingku untuk kembali mendengarkan.
Gorden bergeser. Dari belakang, aku bisa melihat sebagian tubuh gadis itu yang berdiri tegak, menyilangkan tangannya ke depan paha.
"… aku akan jatuh cinta pada orang yang sama," bisik gadis itu kemudian.
Aku terdiam.
Cinta?
.
#
.
¶ BINTANG
BERDIRI DI ATAS rerumputan hijau yang halus, aku mengamati sekelilingku: sungai yang membelah kota Karakura, langit malam, dan bintang.
Sudah hampir waktu perjanjian. Sebentar lagi gadis itu akan datang kemari, setelah melakukan semua yang sudah diperintahkan.
Aku melempar pandang ke hamparan langit luas di atasku. Benda-benda berkelap-kelip menjadi teman lengkung bulan keemasan yang melayang di udara.
Hitam. Bulan. Mengingatkanku pada Hueco Mundo.
Semua begitu mirip. Hanya sinar-sinar kecil yang berbeda.
Bintang. Satu lagi wujud yang tak pernah kulihat sebelumnya. Wujud yang kini menemaniku menunggu.
.
#
.
¶ SYARAT
DUA BELAS jam. Waktu yang sungguh lebih dari cukup bagi gadis itu untuk meninggalkan pesan bahwa dia telah meninggalkan dunia nyata dengan keinginan sendiri.
Ia telah mengucapkan perpisahan yang tidak kumengerti kepada pemuda shinigami berambut oranye. Kata-kata yang tidak bisa kupahami.
Tidak penting, yang jelas, segala persyaratan telah dipenuhi.
Gelang yang menghilangkan eksistensi gadis itu di dunia nyata, waktu dua belas jam, dan tanda perpisahan hanya kepada satu orang saja, itu pun tidak boleh sampai orang tersebut mengetahui.
Rumit? Aizen-sama memang perancang yang jenius bukan?
Nah, syarat sudah dipenuhi. Waktunya kembali.
.
#
.
¶ PENUMPANG
AKU BERJALAN menyusuri kegelapan tak berujung. Bulatan putih yang mengambang di udara adalah satu-satunya objek fisik yang mampu dilewati. Seperti karpet bundar yang terbang, pijakan yang terbuat dari pembekuan reiatsu-ku terus melayang menyusuri pekatnya dimensi.
Sebenarnya, sebagai espada*, aku bisa saja langsung menembus kegelapan dan tiba di Hueco Mundo. Tapi tidak saat ini.
Kulirik penumpang di belakangku. Seorang gadis berambut oranye panjang yang sedang memandang nanar pada kegelapan pekat disekitar kami.
"Berhati-hatilah dengan langkahmu, atau kau akan terjatuh dan tertelan kegelapan," gumamku sambil kembali menatap kegelapan yang mulai mengerucut di depanku.
Meski tak mendengar jawaban, kurasakan gadis itu maju selangkah, nyaris menempelkan diri ke punggungku.
Penumpangku kali ini agaknya sedikit pendiam.
.
#
.
¶ PULANG
HUECO MUNDO, tanah yang berpasir dengan langit yang tak pernah menjadi siang. Las Noches, istana megah berwarna putih yang terlihat seperti fatamorgana di tengah gurun.
Tak ada yang berbeda dalam perjalanan pulang ini. Selain manusia hidup yang kubawa untuk Aizen-sama.
"Aku kembali, Aizen-sama," ujarku sopan sambil membungkukan tubuhku di hadapan pilar setinggi lima meter, dimana di atasnya, Aizen-sama duduk di kursi kehormatannya.
Aku tahu ia tersenyum ketika ia bergumam, "Kau sudah pulang, Ulquiorra?"
Sambil mengangkat kepala untuk menatap penguasaku, kakiku berayun menyamping. Membiarkan gadis di belakangku terlihat jelas oleh mata Aizen-sama.
"Selamat datang, di kastil kami: Las Noches," sapaan Aizen-sama kepada gadis itu bergema di ruangan.
Aku memejamkan mata. Dalam hatiku merekah kepuasan.
Misi telah kujalankan dengan sempurna. Gema suara indah Aizen-sama adalah bukti bahwa aku sudah pulang dengan tidak mengecewakan.
.
#
.
¶ MUSIK
INOUE ORIHIME mendemonstrasikan kemampuannya sesuai perintah Aizen-sama. Ia mengembalikan lengan kiri Grimmjow yang telah dihancurkan oleh Tousen-sama beberapa minggu lalu.
Rupi memandang tak percaya, setengah histeris karena emosi memenuhi perasaannya. Ia mengajukan rentetan protes tak berujung kepada Aizen-sama.
Makhluk menyedihkan. Ia tak pantas berdiri dalam lingkaran espada. Ya, bagaimanapun, semua sudah teratur dalam perhitungan Aizen-sama.
Membuat Tousen-sama menghancurkan lengan Grimmjow, mencabut Grimmjow dari daftar espada, membuat Rupi menggantikan posisi menjadi Sexta Espada*, lalu membiarkan Inoue Orihime mengembalikan lengan Grimmjow. Rencana jenius Aizen Sama telah terlaksana tanpa meleset sedikit pun. Kemudian seperti perkiraan, Grimmjow membinasakan Rupi—hanya dengan sekali serang. Sebuah cero tingkat rendah setelah lengannya kembali.
"Kembali…" terdengar bisikan penuh senang ketika serpihan terakhir tubuh Rupi menghilang dari pandangan. "KEKUATANKU TELAH KEMBALI!" Grimmjow berteriak histeris, bergema di ruangan besar milik Aizen-sama. "AKULAH NOMOR ENAM…"
Aku menutup kedua mataku, sekali lagi mengagumi kejeniusan Aizen-sama yang tanpa cela.
"…SEXTA ESPADA! GRIMMJOW! HAHAHAHAHAHAHA!" tawa menggelegar dan bergema di sekeliling kami.
Tanpa membuka mata pun, aku tahu bahwa Aizen-sama sedang tersenyum. Satu lagi musik indah di telinganya telah mengalun. Tawa penanda kesempurnaan rencana Aizen-sama.
.
#
.
¶ LABIRIN
SUARA LANGKAH kaki bergema di lorong panjang Las Noches. Dinding-dinding putih identik serta lantai berkeramik hitam yang memantulkan bayangan siapa pun yang melewati, menjadi teman kami dalam menyusuri lorong terang ini.
Ratusan langkah kemudian, aku berhenti di depan sebuah pintu tebal berwarna putih. Membuka pelan pintunya, aku meminggirkan tubuh agar sosok di belakangku bisa masuk.
"Ini kamarmu," ujarku.
Gadis berambut oranye di belakangku masuk perlahan. Matanya diam-diam menjelajahi seisi ruang itu. Sebuah sofa putih empuk, meja kecil berbentuk bundar, karpet, dan jendela berteralis besi yang menampakkan lengkung bulan.
"Tetaplah di sini dan tenanglah," ujarku ketika gadis itu menatapku.
Kulihat ia mengangguk pelan. Aku baru saja akan melangkah keluar ketika teringat satu pesan lagi.
Tanpa melirik, aku berujar, "Jangan sekali-sekali kau berkeliaran. Kau akan tersesat." Kemudian aku memutar kepalaku sedikit, menatapnya sedetik sebelum melanjutkan dan keluar, "Karena kastil ini seperti labirin."
Menutup pintu, aku lalu berjalan menyusuri lorong sempit berdinding putih.
Ya, tempat ini bagaikan labirin tak berujung. Sekali masuk, mungkin tak akan pernah bisa keluar lagi.
.
#
.
¶ LAPAR
AKU MEMBUKA lebar pintu putih di hadapanku. Kulihat Inoue Orihime, masih dalam balutan seragam sekolahnya, duduk diam di sofa. Nyaris tidak mendengar kedatanganku.
"Aku membawa makanan," sahutku, menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
Gadis itu terkejut menyadari keberadaanku. Ia buru-buru berdiri, lalu berujar pelan, "Aku tidak lapar…"
Seorang arrancar suruhanku masuk membawa makanan. Setelah arrancar itu keluar, aku mendekati gadis berambut oranye itu.
"Makan itu."
Diam sejenak. "Aku tidak lapar," sahutnya tanpa melihatku.
Aku mendekat, membuat gadis itu menatap langsung mata hijauku. "Kau ada untuk Aizen-sama. Sekarang ini, Aizen-sama belum membutuhkanmu. Sampai saat itu tiba, kewajibanmu hanyalah menjaga diri."
Gadis di hadapanku menundukkan kepalanya.
"Aku tidak peduli kau lapar atau tidak. Sekarang makan, sebelum aku sendiri yang akan menelankan paksa makanan itu ke kerongkonganmu."
Dengan itu, ia membuang kata 'tidak' dalam pernyataan sebelumnya.
.
#
.
¶ MALAM
MASIH DI kamar yang sama, aku berdiri di dekat pintu. Aku diam. Mengamati dan menunggu gadis di ujung sana menyelesaikan makan malamnya.
Benar. Makan malam.
Aku melempar pandang ke satu-satunya jendela di kamar itu. Melalui teralis, yang mampu kulihat hanyalah lengkung bulan dan langit hitam.
Setiap waktu makan adalah makan malam, karena setiap saat adalah malam di Hueco Mundo.
.
#
.
¶ AIR
MENUNGGU. Masih itu yang kulakukan di kamar putih ini.
Mataku mengawasi gadis berambut oranye yang dengan perlahan menyuapkan makanan ke mulut mungilnya. Rasa tak sabar mulai menggerayangiku. "Begitu kau menyelesaikan makanmu, kita pergi," ujarku datar.
Hening tapa jawaban.
Hanya melodi sendok besi beradu dengan piring putih. Sangsi bahwa gadis itu mendengarnya, aku mendekat dan bergumam kembali, "Aizen-sama ingin bertemu denganmu."
Membulatkan mata, gadis itu menjatuhkan sendoknya.
Baiklah, kurasa ia mendengarku sekarang.
Lalu dengan bantuan segelas air bening yang bersinar terkena pantulan cahaya bulan, ia berhasil menelan suapan terakhirnya dengan selamat.
.
#
.
¶ DINGIN
INOUE ORIHIME BERJALAN pelan, mengikutiku dari belakang. Kami berhenti, lalu kembali ke ruangan putih yang baru ditinggalkan beberapa menit untuk menghadap penguasa Las Noches.
Gadis itu melangkah masuk. Aku mengikutinya, kemudian bergumam pelan, mengulang perintah Aizen-sama dengan bahasaku, "Pakai itu."
Mataku mengarah kepada selembar pakaian putih yang terlipat rapih di atas sofa. Gadis berambut oranye itu mendekat perlahan, meraih pakaian itu dan membentangkannya.
Aku berujar ketika melihat pakaian putih khas para arrancar di tangan mungilnya, "Sekarang kau adalah bagian dari kami."
Inoue Orihime mengangguk patuh, tanpa melirik sedikit pun. Tangannya mendekap pakaian putih tadi di dada.
Kali ini bukan perintah Aizen-sama. Hanya kata-kata yang meluncur begitu saja dari bibirku. "Lebih baik kau cepat memakainya. Udara Hueco Mundo terlalu dingin untuk manusia sepertimu," sahutku datar.
Rambut oranye bergoyang, gadis itu menoleh ke arahku. Memandang aneh sejenak sebelum kemudian menarik singkat bibirnya.
"Hai," jawabnya patuh.
.
#
.
¶ BISKUIT
PERTEMUAN DARURAT dilakukan tak lama setelah aku mengantar Inoue Orihime kembali ke kamarnya setelah bertemu Aizen-sama. Mengambil tempat di sebelah Primera Espada*—Stark, aku duduk di salah satu kursi putih dari sebelas kursi yang ada.
Terdengar gema langkah kaki, bersamaan dengan sapaan hangat dari Aizen-sama. Kulihat Ichimaru Gin dan Tousen Kaname berjalan di belakangnya.
"Selamat pagi, para espada," sapa Aizen-sama. "Kita telah diserang musuh," lanjutnya tanpa basa-basi.
Kemudian Aizen-sama duduk di kursi paling ujung, sehingga tepat sebelas kursi telah penuh terisi. Aizen-sama memberi pandangan hangat sejenak kepadaku yang duduk tepat di samping kirinya. Grimmjow di seberangku tampak tak acuh dengan kehadiran Aizen-sama. Sungguh makhluk yang tak pantas duduk di samping kanan Aizen-sama.
"Pertama-tama, aku rasa lebih baik kita perlu memanaskan teh terlebih dahulu…" gumam Aizen-sama.
Benar, tidak perlu terburu-buru. Kurosaki Ichigo dan teman-temannya tak akan menjadi gangguan sedikit pun bagi Aizen-sama.
"Bagaimana dengan sekaleng biskuit untuk sarapan?" Aizen-sama memberikan senyumannya kepada kami, kemudian memerintahkan seorang arrancar pelayan untuk membawakan sebelas cangkir teh serta piring-piring biskuit untuk semua espada.
.
#
.
¶ MANIS
GRIMMJOW BERLUTUT. Hanya dengan lirikan dan sedikit reiatsu dari Aizen-sama, ia berhenti bicara dan terduduk jatuh. Tentu saja. Aizen-sama adalah penguasa. Tidak boleh ada satu makhluk pun yang menentangnya.
Aizen-sama memerintahkan para espada untuk tenang dan menunggu. Menunggu hingga Kurosaki Ichigo dan teman-temannya yang datang sendiri ke tempat kami masing-masing. Tak ada komentar. Kata-kata Aizen-sama adalah mutlak.
"Jangan takut," ujar Aizen-sama. "Tidak peduli apa yang menghadang, selama kalian berada sejalan denganku, musuh seperti apapun…" ia memberi jeda sebentar, membiarkan kami meresapi kata-katanya. Lalu ia melanjutkan dengan sempurna, "… tidak akan pernah ada untuk kita."
Kesempurnaan. Jalan yang tampak dan mampu dilewati hanyalah jalan di samping Aizen-sama.
Beberapa saat kemudian, para espada kembali ke ruangannya masing-masing. Dalam sekejap, hanya tersisa aku, Aizen-sama dan Grimmjow yang masih berlutut.
"Ulquiorra…" panggilnya lembut.
Aku menatapnya, menanti perintahnya.
"Bukankah sebaiknya kau menghabiskan biskuit di piringmu?" tanyanya seraya melirik kepada sepiring kecil biskuit berbentuk lingkaran tepat di samping cangkir tehku.
Grimmjow melirik tajam kepada kami. Kemudian Aizen-sama bangkit berdiri, sekali lagi memperingatkan Grimmjow dengan kehalusan sikap yang luar biasa, seraya meninggalkanku terpekur di kursi yang sama.
Aku meraih sepotong kecil biskuit, menghiraukan kepergian Grimmjow, lalu mencicipinya segigit.
Manis, Aizen-sama.
.
#
.
¶ PUTIH
AKU MEMBUKA perlahan pintu putih tebal di depanku. Kupandang sekeliling ruangan dengan mata hijauku.
Inoue Orihime berdiri mematung memandang jendela berteralis. Jubah putih di punggungnya berkibar terhempas angin.
Seisi ruangan itu kini berwarna putih. Sofa, meja, karpet, dinding, lantai, hingga baju yang dikenakannya. Semua putih, kecuali rambut oranye panjang yang kontras dengan semua itu.
"Agak mengejutkan, pakaian itu ternyata cocok untukmu," ujarku sambil melangkah masuk setelah puas mengamati sekeliling.
"Waah! Ka—kapan kamu masuk ke sini?" Gadis itu terkejut, ia menoleh dan menatapku.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku mengayunkan kaki satu langkah sebelum berkata, "Ada laporan terbaru."
Mata gadis itu membulat tepat ketika aku menyampaikan berita tersebut. Bersamaan dengan itu, jubah putihnya kembali berkibar indah di bawah remang sinar bulan.
.
#
.
.bersambung.
Glosarium:
Arrancar: Sosok hollow yang telah melepaskan topeng hollow-nya dan mendapatkan kekuatan seperti shinigami.
Onna: Woman. Perempuan
Reimaku: Spirit Shell. Sebuah pelindung/penghalang spiritual yang memungkinkan penggunanya menjadi tak nyata bagi indra manusia, serta mampu menembus objek fisik.
Reiatsu: Spirit Force. Tekanan roh seseorang.
Espada: Arrancar pilihan yang berwujud mendekati manusia. Jumlahnya sangat terbatas dan memiliki kekuasaan untuk mengatur arrancar lain di bawah mereka. Dalam kasus Aizen, espada berjumlah sepuluh orang dan diberi nomor urut berdasarkan tingkat kekuatan.
Hai: Yes. Ya.
Sexta Espada: Bahasa Spanyol untuk espada keenam. Sexta artinya enam.
Primera Espada: Bahasa Spanyol untuk espada pertama. Primera artinya satu.
Disclaimer:
Setting and dialogues taken from Bleach manga chapters: 234 (Not Negotiation), 237 (Good Bye, Halcyon Days), 240 (Regeneration), 241 (Silver Flame), 244 (Born From The Fear), 245 (The Way With Out Enemies), dan 247 (United on The Desert)
.
#
.
.next: SAYAP KEDUA.
Be First to Post Comment !
Post a Comment