“Remember that wherever your heart is, there you will find your treasure.” (― Paulo Coelho, The Alchemist)

Lembar Lima: Sapaan untuk Matahari

Wednesday, July 20, 2011
陽光 (c) katsuo


Halo, Matahari.


Kamu hari ini... cerah seperti biasa. Meski hari ini aku melihat cahaya berwarna lain yang berpendar berbeda dari biasanya. Hm... apakah karena aku baru saja mengakui bahwa diriku lebih suka matahari daripada hujan?


Ah, dulunya kamu anggap aku terlalu menyukai hujan, eh? Aku suka, kok, hujan. Tapi ternyata aku lebih menyukai matahari. Sebenarnya akan sangat bagus kalau kamu sudi muncul sedikit di tengah hujan. Tapi tidak mungkin, ya? Kamu sangat bersinar dan cerah (dan bundar). Tetes hujan itu seperti akan menumpukmu, kan? Mungkin kamu takut aku menjadi lebih basah daripada berbau hangat (bagaimanapun, itu hujan)?


Tapi, tahukah kamu? Tetes hujan itu hanya butiran kecil yang tidak berarti. Aku mungkin akan basah, tapi aku tidak akan luput mengetahui kamu ada di tengah semuanya. Bagaimanapun, kamu sangat mencolok! Tetes-tetes hujan itu tidak akan berarti di depanmu! Itu bukan persaingan, tahu. Kamu menang mutlak!


Sayangnya kamu memang tidak suka disaingkan.


Kadang aku berpikir--apakah aku perlu membenci hujan selamanya untuk bisa memandangi kamu setiap hari? Kamu pasti bosan menunggu aku dan pikiran-pikiranku di sisi jendela. Selama kegiatan itu, aku tetap menikmati hujan, sebagaimana aku menikmati kamu. Kamu jadi membenciku, sepertinya.


Maaf ya, Matahari.


Sejak kamu pergi, aku jadi membenci malam. Padahal selama ini aku selalu menyukai malam dan bintang-bintangnya. Rasanya seisi duniaku terbalik! Seharusnya (ya, pasti seharusnya), aku tidak boleh bercakap-cakap denganmu. Kamu, mungkin kamu ditakdirkan untuk ada saja dalam hari-hariku, tapi tidak dalam kehidupanku. Soalnya mataku jadi selalu melihatmu!


Bagaimana kabar Langit? Kulihat kamu sudah berinteraksi dengan awan-awan lebih baik. Lihat, duniamu juga luas dan indah, kan? Apa sekarang aku masih ada di jangkauan hangatmu? Soalnya yang kupandangi akhir-akhir ini hanyalah cahayamu. Aku juga rindu hangat.


Sudah lama tidak hujan. Aku tidak lagi merindukan hujan. Mengejutkan. Kalau hujan tiba, aku rasanya ingin menutup rapat-rapat jendelaku dan bergelung di balik selimut. Aku ingin melihat kamu, bukan hujan. Mengejutkan.


Mengejutkan! Sejak kapan aku menjadi terlalu menyukai terang? Aku... aku bahkan tidak lagi terjaga untuk menunggu malam dan bulan. Aku lebih ingin tidur, di balik selimutku, lalu membuka jendela lagi nanti ketika aku bisa memandangimu.


Aku merasa konyol. Padahal kamu sudah tidak memandangku lagi. Mungkin aku hanya seperti perabot dalam duniamu. Seperti... pohon, mungkin? Atau seperti buah lemon di taman itu? Untuk bisa ada di pandanganmu, apakah aku harus mengalahkan sinarmu? Aku? Aku yang dikenal seperti Bulan di malam hari ini? Sulit sekali!


Eh, aku terlalu jauh.


Pokoknya, kurasa kamu perlu percaya bahwa aku lebih menyukaimu daripada hujan atau malam. Aku tidak ingin berharap kamu akan menoleh padaku! Berharap itu sama saja bersedia melepaskan. Kamu pasti ingat, kalau aku sudah berlari, aku tidak akan berhenti sebelum sampai di tempat yang kutuju.


Meski tempat yang kutuju adalah jarak jutaan cahaya?


Ya, meski itu kamu.


Matahari, siang ini aku belum mengamati perbedaan sinarmu lagi. Tapi ternyata memang, aku paling suka kamu di pagi hari. Karena warnamu lembut dan sinarmu hangat. Karena kamu tidak terlihat terlalu sulit digapai.


Hujan mengetuk pintu jendelaku sekarang. Aku mengabaikannya. Selamat tinggal, hujan. Selamat tinggal, malam. Sekarang aku sedang mencari dimana aku meletakkan sepatuku. Sebentar lagi. Aku tinggal memakainya dan berlari ke arahmu.


Tunggu ya, Matahari!
Be First to Post Comment !

Custom Post Signature

Custom Post  Signature