"…When you have something you dont want to lose
it's a matter of whether you can just take
that one step, even if you look patheic...…"[—Iwase Ken, Proposal Daisakusen]
Betapa dekat sesuatu yang disebut kematian itu.
Saya tertegun ketika menerima pesan singkat melalui ponsel hari Minggu malam kemarin. Sungguhkah? Adikku—teman seperjuanganku di Departemen Teknik Kimia UI, dia yang sedang berjuang melawan penyakitnya selama beberapa minggu terakhir—telah meninggalkan kami semua?
Sungguhkah?
Hari ini hari ulangtahunmu, adikku. Saya rasa kamu pasti merayakannya bersama Tuhan dalam lindungan-Nya. Kamu orang yang baik, karenanya Tuhan melepaskan penderitaanmu dengan cara-Nya yang terbaik. Ya Allah, tempatkan adikku ini di tempat-Mu yang terbaik.
***
Mengingat kematian membuat saya tertegun. Saya bukan orang yang terlalu khawatir akan masa depan, meski saya bukan orang yang tidak percaya Hari Akhir. Tentu saja, kematian sangat dekat dengan kita semua.
Saya—mungkin saya hanya sedikit melupakan banyak hal. Kalau mengingat hari-hari yang berlalu dan waktu yang saya habiskan, rasanya jadi menyedihkan.
Terlalu banyak hal yang bukan saya. Terlalu sering menipu diri demi mempertahankan sesuatu bernama egoisme dan harga diri.
Saya—saya ingin melakukan banyak hal.
Saya sempat menonton kembali anime berjudul Pandora Hearts, dan sedikit banyak tertegun pada salah satu adegan. Si tokoh utama, Oz Versallius, adalah dia yang waktunya tidak pernah bergerak. Dia hidup, dia ada, dia melakukan segalanya—tapi waktunya tidak pernah bergerak—tetap pada 10 tahun yang lalu. Ada saat dimana Oz menjadi begitu terkejut dengan dirinya sendiri, dan merasa sangat miris karena yang dia lakukan adalah menyiksa dirinya sendiri. Lalu—dalam suatu pertemuan—Elliot Nightray menamparnya dengan sesuatu. Kira-kira, seperti ini:
“Kalau kau sudah menyadari apa yang kau lakukan itu salah, maka kau sudah satu langkah berjalan. Apa yang akan kau lakukan berikutnya—entah berhenti atau memutar atau berjalan ke depan—itu kau yang tentukan kemudian.”
Saya ingat saya meneteskan air mata tanpa sadar ketika mendengar itu. Rasanya seperti—seperti menampar diri saya sendiri.
Saya—yang saya lakukan adalah satu langkah berjalan dan kemudian berhenti. Begitu saja. Berhenti seperti saya ragu untuk melangkah atau bahkan kembali duduk dan menangis.
Entahlah.
Saya seperti tidak lagi mengenal diri saya.
Ini—terlalu menyakitkan.
***
Kalau—kalau saja saya bisa jujur dengan sepenuhnya, saya tidak ingin kehilangan. Tapi—kenapa manusia terlahir dengan harga diri dan kebanggaan? Kenapa—jika tidak mau kehilangan, kita harus melangkah dan melepaskan semua itu?
Saya—saya hanya ingin jujur kepada diri saya sendiri.
Apakah saya bisa—?
Saya—
***
Saya teringat kembali kepadamu, adikku. Kamu yang sampai saat terakhir berjuang dan berjalan. Kamu yang sampai saat terakhir mungkin melengkungkan senyum.
Saya—kamu meninggalkan banyak pelajaran berharga untuk saya dan kami semua. Kamu—kepergianmu menjadi sesuatu untuk kami semua.
Selamat jalan, adikku.
Saya juga—
—ingin berjalan tanpa berhenti seperti itu.
doa selalu menyertai adik dan sahabat kami,
Nur Fidini, Teknik Kimia 2010
Be First to Post Comment !
Post a Comment