“Remember that wherever your heart is, there you will find your treasure.” (― Paulo Coelho, The Alchemist)

[fanfiksi] Marigold

Friday, July 29, 2011
Sebuah fanfiksi. Di-publish di fanfiction.net pada 21 Juni 2010.
Fandom: Bleach
Karakter: Kira Izuru; Ichimaru Gin
Genre: Angst
Ringkasan:
Mungkin yang tersisa bagi Kira Izuru sebelum kematiannya hanyalah keputusasaan—dan kelopak marigold yang dengan nanar mengikuti sisa-sisa jejak Ichimaru Gin.
Bleach [character and art]©Kubo Tite  ||  marigold photo: 123rf.com || art edited by: me


 .
 #
 .
"…Fighting must not be heroic, nor can it be exhilarating.
Fighting is despair.
It is dark.It is scary.It is sadness.
People fear fighting, and so they choose a path to avoid it…"
[Kira Izuru – 3rd Squad's Lieutenant]


 .
 #
 .
Marigold

[sebuah lambang keputusasaan]

oleh: faria

.
#
.
Ada hal-hal yang tidak bisa dijadikan sesuatu yang patut disumpah. Kebencian, misalnya. Atau mungkin dendam. Apapun itu, bukan salah bibir yang menyumpah jika isi sumpah itu berhamburan begitu saja setelah diucapkan. Jika demikian, maka isi sumpah bukanlah sesuatu yang patut disumpah.

Kira Izuru seharusnya mengetahui itu.

Bukan bola matanya yang berkhianat karena mencari gurat hangat dari wajah putih yang dihiasi rambut perak dan lengkung senyum khas. Bukan tangannya yang melawan karena begitu saja bergetar saat menggenggam gagang wabisuke*. Bukan lidahnya yang berbalik sisi karena gagal menyuarakan nama Ichimaru Gin dengan parau.

Yang patut disalahkan adalah sumpah sia-sia itu. Pada akhirnya, Kira tidak mampu sedikit pun melempar perasaan itu keluar dari jendela hatinya.

"Kau tampak sehat, Izuru." Tanpa dosa, suara itu mengacaukan lagi resolusi Kira.

Genggaman erat di gagang pedang berbentuk tidak lazim itu mengeras. Belum ada satu pun yang bergerak. Langit terhampar begitu luas, membuat Kira mengenyahkan pilihan untuk mundur dan melarikan diri.

Tidak lagi. Kira—seharusnya—sudah bersumpah untuk tidak lagi melarikan diri. Di depan hamparan bunga marigold* yang tegak memamerkan keindahannya pada halaman kompleks gedung Divisi Tiga, Kira pernah menyusun resolusinya. Resolusi yang rapuh. Begitu rapuh hingga sederet kalimat dari bibir itu segera memecahkannya menjadi serpihan yang lebih halus dari debu.

Sesuatu yang tersusun oleh perca kenangan, tersulam oleh keinginan untuk kembali ke dalam setiap motif yang tercetak di kain bernama masa lalu. Resolusi yang lebih seperti sebuah selimut untuk menutupi diri dan sembunyi jauh-jauh dari kenyataan.

Kira bahkan tidak menemukan suaranya untuk sekedar menjawab. Mungkin benda itu juga bersembunyi?

Kesadaran bahwa detik itu adalah sebuah pertarungan adalah satu-satunya yang membuat Kira mampu mengayunkan pedangnya menangkis hantaman pedang perak yang menjeritkan dentingan ngilu.

"Apa kau begitu marah sehingga tidak menjawab pertanyaanku, hm?"

Marah?

Kira menemukan kata itu tertulis tanpa henti di lembaran jiwanya selama beberapa waktu setelah Ichimaru Gin meninggalkannya. Hari demi hari, dengan tinta merah, kata itu terus tertulis. Hingga Kira jengah dan memutuskan menutup buku jiwanya.

Perlukah Kira mengintip isi buku itu untuk menemukan kata apa yang saat ini tertulis di sana? Kira tidak tahu, namun jelas bukan lagi marah yang tertulis di sana.

Lengkung senyum yang menampakkan diri begitu dekat membuat Kira hampir tidak sadar ketika langkahnya begitu saja mundur menjauh. Kira belum pernah menyadari seberapa kuat sisa aroma Ichimaru Gin di dalam dirinya. Belum, hingga hari ini.

"Itu tidak bagus. Kalau kau penuh celah begitu, kau bisa cepat mati, Izuru."

Seandainya lidah bisa diajak bekerja sama, Kira sudah akan membalas perkataan itu sejak tadi. Namun, alih-alih berusaha menjawab, Kira memusatkan energinya untuk menghantamkan pedangnya ke depan. Tubuh berbalut jubah serba putih menghindar dengan mudah, sesekali membiarkan pedangnya berdentang dengan pedang Kira.

Seiring semakin intensnya frekuensi hantaman dan gerakan, pertarungan itu menyisakan potongan kesadaran Kira. Meski tubuhnya bergerak, menerjang, menghindar, namun pikirannya melayang. Kira merasa seperti kesadarannya terpisah. Seolah dirinya berada di luar lingkaran dan memandang pertarungan dari kejauhan.

Tusukan tepat di lengan atas membuat cairan pekat Kira mengalir menodai lambang kanji angka tiga dan bunga marigold. Bernafas mulai menjadi sulit untuk Kira.

Kira paham, dirinya tidak akan bisa mengalahkan Ichimaru Gin.

Lupakan sisi emosional yang seperti membatasi gerak Kira, sisi logis pun berkontribusi menghasilkan kesimpulan itu. Wabisuke dapat membawa lawan mana pun menundukkan kepalanya seperti meminta maaf—jika saja pedang tersebut mampu menyentuh lawan. Bukan salah siapapun Ichimaru Gin terlahir sebagai shinigami dengan zanpakutou tercepat—kamishini no yari*. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan wabisuke untuk mengejar dan menangkap bankai perak itu. Mungkin tidak akan pernah.

Ironis.

Seperti sosok Kira Izuru yang mungkin akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengejar Ichimaru Gin—tanpa pernah berhasil menangkapnya.

"Kau bertambah kuat sejak terakhir kali aku melihatmu, Izuru."

Jika saja Ichimaru Gin mengucapkannya pada saat yang berbeda, beberapa musim yang lalu, mungkin Kira akan mampu membalasnya dengan senyum. Kira meringis pelan saat rasa nyeri menjalari tubuhnya. Lebih dari luka nyata, lubang menganga di hatinya menjadi begitu perih.

Seandainya bisa, Kira ingin melarikan diri dari tempat itu.

Dari sudut mata yang berputar gelisah, Kira mengamati sosok-sosok yang terbujur nyaris tak bernyawa di bawah. Kimono hitam yang ternoda darah, robek dan menyisakan kenangan akan kedamaian Soul Society.
Semua bertarung, meletakkan nyawa sebagai taruhan. Atas nama tanggungjawab, atas nama kewajiban, atas nama pembalasan, serpihan daging tidak lagi menjadi berharga.

Namun segalanya tidak berarti bagi Kira. Baginya, pertarungan adalah keputusasaan. Pertarungan menjadi begitu menyedihkan dan menyakitkan, karena keputusasaan yang berpendar menjadi penjara yang menyilaukan mata semua pemegang kekuatan.

Hisagi Shuuhei terbaring luka di bawah sana, Hinamori Momo tergeletak bersimbah darah di bawah sana—keduanya harus mengecap balasan atas pertarungan itu.

Tapi Kira tidak bisa.

Kira tidak sekuat Hisagi yang dengan resolusi sekuat baja menebaskan pedangnya ke leher Tousen Kaname. Tidak lebih baik karena Kira tidak sejujur Hinamori yang dengan keteguhan cinta berusaha memanggil kembali Aizen Sousuke ke sisinya.

Kira hanya terombang-ambing di antara dua jalan yang bisa dipilihnya. Sumpah yang pernah diucapkannya kini berhamburan tak berbentuk di hadapan sosok Ichimaru Gin. Pada akhirnya, Kira tidak bisa memutuskan apa pun.

"Gomen ne, Izuru…"

Suara yang menyeruak dari dinding pikiran Kira adalah hal terakhir yang menjadi peringatan sebelum pedang perak memanjang begitu saja menerjangkan diri ke sisi perut Kira.

"Ichimaru… Taichou*…"

Akhirnya, seperti setitik kelegaan, lidah itu mampu menggetarkan nama yang sejak tadi ditelan Kira. Lengkung senyum sedih di wajah yang selalu menutup mata dengan ganjil adalah hal terakhir yang dilihat Kira sebelum dirinya melayang jatuh menuju pusat gravitasi di bawahnya.

Debam keras terdengar ketika rumput hijau lembut gagal menjadi bantalan untuk punggung Kira yang terbanting tanpa ampun dari ketinggian ratusan satuan panjang.

Kira merasakan seluruh tubuhnya seperti mati. Anggota tubuhnya tidak lagi bisa bergerak. Wabisuke terlempar dari tangannya, mendarat tidak begitu jauh dari tubuhnya yang pucat.

Memandang ke atas, Kira menemukan langit biru luas seperti memantulkan kematian baginya. Matanya tidak dapat menemukan sosok rambut perak yang selalu gagal dienyahkan dari lingkaran hatinya, namun samar-samar Kira mengetahui bahwa sosok itu sedang memandangnya dari atas sana.

Pada akhirnya, Kira hanya menjadi buah catur yang dipermainkan sampai akhir. Sejak malam dimana sosok Ichimaru Gin pertama kali muncul di hadapannya—menyelamatkan nyawanya, sejak itu hidup Kira sudah diputuskan setiap langkahnya. Setiap tundukan hormatnya, setiap ayunan pedangnya, segalanya dijalankan sesuai rencana permainan.

Yang menyakitkan hanyalah bahwa setelah segalanya, Kira bahkan tidak bisa membenci. Setelah permainan dengan akhir yang mengenaskan sekali pun, Kira tahu dirinya tidak bisa mengeluarkan sosok Ichimaru Gin dari hatinya.

Satu kesamaan yang dapat ditemukan Kira pada Hisagi Shuuhei dan Hinamori Momo. Hanya saja, Kira tidak bisa menginterpretasikan gejolak dirinya sebebas mereka. Kira hanya berputar-putar pada titik yang sama, mencoba berpegang, lalu melepasnya, dan mengulang-ulang itu hingga tidak lagi menemukan pijakan.

Kira membiarkan darah pekat mengalir dari sudut bibirnya ketika dirinya menyadari tempat seperti apa yang akan menjadi kuburnya.

Padang marigold.

Kira tidak lagi memiliki kesadaran untuk sekedar memikirkan bagaimana tempat seperti itu bisa ada dalam replika kota Karakura yang sudah porak poranda. Yang mampu Kira rasakan hanyalah desir angin yang membawa kelopak emas bunga marigold di sekitarnya.

Langkah kaki menapak samar mendekati tubuh Kira yang terbujur tidak berdaya. Kira tidak mengerti bagaimana otaknya masih memiliki sisa tenaga untuk merespon memori mengenai nama pemilik langkah itu ke kesadarannya.

Mengadahkan kepala semampunya, Kira menemukan sosok Ichimaru Gin memandangnya dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan maknanya.

Jika saja tenggorokannya tidak tercekat, Kira mungkin sudah menggumamkan nama sosok itu. Menyedihkan bahwa ketika dirinya sudah mampu bekerjasama kembali dengan lidahnya, tubuhnya mengkhianati dan menghalanginya untuk sekedar berbicara.

"Kau jatuh di tempat yang bagus sekali. Ini seperti di halaman gedung Divisi kita dulu…"

Hal terakhir yang diinginkan Kira adalah mengizinkan hatinya terbawa sekali lagi oleh Ichimaru Gin. Meskipun Kira merelakan hidupnya sebagai sebuah bidak tak berharga, atau merelakan tubuhnya sebagai onggokan daging tak berarti, setidaknya Kira ingin hatinya tetap utuh tanpa perlu ikut terluka.

Namun Kira lupa. Barang yang sudah pecah tidak bisa direkatkan kembali. Hatinya sudah pecah saat Ichimaru Gin meninggalkannya dalam tumpukan pertanyaan tak terjawab.

"Kau ingat aku pernah tertidur di padang itu dan kau memarahiku setelahnya? Apa bunga-bunga itu masih mekar sekarang?"

Kira sudah membiarkan lambang marigold dan kanji angka tiga di lengannya teronggok entah dimana. Marigold adalah lambang keputusasaan—sesuatu yang mengikat kuat dirinya dengan Ichimaru Gin. Sekarang, kebetulan macam apa yang mengizinkan Kira terbaring di tengah rimbunan marigold yang membawanya pada untaian kenangan menyakitkan?

Perlahan, kristal bening menggenang di sudut mata Kira. Pandangannya kabur, menyisakan potongan-potongan kenangan yang berlarian menjadi ilusi baginya.

Ketika jari-jari kurus dingin meraba wajahnya, Kira tidak lagi bisa menahan jejak air yang mengalir di sudut matanya. Luka di daging, darah di bibir, segalanya menjadi fatamorgana yang membuat Kira mampu merasakan ngilu yang lebih menusuk jauh di dalam hatinya.

"Kau belum berubah, Izuru. Sejak dulu kau membenci pertarungan. Kau selalu menangis setelahnya. Tapi itulah yang aku sukai darimu."

Tak peduli berapa kali tetes air mata dienyahkan oleh jari-jari kurus itu, genangan perak itu tetap mengalir deras. Sebagai ganti isak yang tidak bisa terucap, darahlah yang terus keluar dari sudut bibir. Tetes demi tetes, mendekatkan Kira pada kematian di depannya.

"Pertarungan adalah hal yang menyedihkan. Kau mengetahuinya dan selalu menghindarinya. Itulah mengapa kau tidak pernah bisa lari dariku."

Samar-samar, Kira melihat pedang perak Ichimaru terarah menantang jantungnya yang hanya bisa mendegupkan kehidupan lemah.

"Kau makhluk malang, Izuru…"

Kira merasakan belaian lembut di sela-sela rambut pirang pucatnya. Sebuah sentuhan dingin yang menghalangi Kira dari keinginan untuk bangkit dan bertahan hidup. Sentuhan itu begitu dingin, namun Kira menginginkannya.

Kemudian Kira melihatnya: sepasang bola mata scarlet milik Ichimaru Gin. Bola mata yang begitu jarang tersentuh sinar matahari, begitu asing dan tidak pernah terjamah bola mata lain. Kira melihatnya, menemukan gurat kesedihan tulus di pantulannya.

"Gomen ne…"

Bibir membuka, berusaha sekuat tenaga menyuarakan sebuah nama. Nanar, Kira menjulurkan lengannya yang gemetar ke atas, ingin menjangkau wajah terakhir yang dilihatnya. Namun tidak satu pun suara keluar dari bibir pucat Kira.

"…Oyasumi*, Izuru."

Angin berdesir, menerbangkan kelopak ringan marigold, membiarkan beberapa di antaranya mendarat di luka tubuh Kira. Kelopak itu menyerap pekat darah, membuat warnanya berubah menjadi ganjil.

Sudah berakhir.

Itu bukan pertarungan. Kedua sosok itu paling mengetahui, pertarungan adalah keputusasaan yang menyedihkan dan menyakitkan. Keduanya menghindar—hanya untuk terus bertemu kembali. Jadi, itu bukan pertarungan, hanya sebuah jalan untuk mengakhiri keputusasaan.

Yang mana pun, Kira tidak akan pernah bisa lari. Sejauh apapun hal itu menakutkan, menyakitkan, dan menyedihkan, Kira tidak bisa lari menghindar. Bahkan ketika Kira sudah bersumpah untuk tidak lagi melarikan diri, keputusasaan membuat dirinya selalu kembali berlari—hanya untuk membentur tembok bernama kemustahilan.

Mungkin yang tersisa bagi Kira Izuru sebelum kematiannya hanyalah keputusasaan—dan kelopak marigold yang dengan nanar mengikuti sisa-sisa jejak Ichimaru Gin.

.
#
.

.selesai.

GLOSARIUM
  • Wabisuke (The Apologizer): wujud pedang Kira Izuru dalam bentuk shikai. Kekuatannya mampu melipatgandakan massa dari apapun yang dipotongnya.
  • Kamishini no Yari (God-Killing Spear): wujud pedang Ichimaru Gin dalam bentuk bankai. Merupakan pedang yang dapat memanjang dan memendek dengan sangat cepat.
  • Marigold: Bunga berkelopak emas, merupakan lambang dari Divisi Tiga dan dalam bahasa bunga berarti 'despair'.
  • Taichou: Kapten.
  • Oyasumi: Selamat beristirahat/selamat tidur.

[fanfiksi] Sang Kelelawar [Sayap Pertama]

Sebuah fanfiksi. Di-publish di fanfiction.net pada 14 Juli 2009. Bagian 1 dari 3.
Fandom: Bleach
Karakter: Ulquiorra Schiffer; Inoue Orihime
Genre: Drama
Keterangan: Untuk Infantrum 50 Sentences Challenge

Ringkasan: Sang Kelelawar adalah makhluk paling setia. Hidupnya dihabiskan untuk mengabdi dan mencari arti. Ketika tiba-tiba saja muncul oranye, tanpa disadari sama sekali, warna itu telah perlahan-lahan meluruhkan pekat hitam hati Sang Kelelawar.
Bleach [character and art]©Kubo Tite  ||  art edited by: me

 .
 #
 .
"…I'm only going to say it once more…
Come with me, onna…"
[Ulquiorra Schiffer to Inoue Orihime—Bleach chapter 234: Not Negotiation]

 .
 #
 .
Sang Kelelawar

[SAYAP PERTAMA]

oleh: faria

.
#
.

¶ AKU 


HAL PERTAMA yang terpantul di mataku saat aku terlahir sebagai arrancar* adalah kegelapan. Langit hitam, serta bulan sabit lengkung yang tak pernah berganti posisi menjadi sarang bagiku.


Ulquiorra Schiffer. Itulah kalimat pertama yang kuucapkan kepada Aizen-sama.


Aku makhluk kegelapan. Sang Kelelawar yang selalu mencari mangsa di malam hari. Setidaknya sampai Aizen-sama mengenalkanku pada cahaya, mengukir kekuatan baru di dalam tubuhku.


Hari di mana Aizen-sama menginjakkan kaki di Hueco Mundo, detik itulah aku menjadi makhluk paling setia di sisinya.


Namaku Ulquiorra Schiffer. Simbol kepatuhan dan kesetiaan.


Akulah Sang Kelelawar, yang telah mempersembahkan hidupnya hanya untuk Aizen-sama.


.

#

.


¶  DIA 


NAMANYA INOUE ORIHIME. Gadis yang telah melintas di dalam pandangan mata Aizen-sama. Menuntun Sang Penguasa kepada sebuah rencana sempurna untuk menghancurkan kota Karakura.


Entah mengapa, seperti memahami kesetiaanku yang tak tersaingi, Aizen-sama telah memilihku untuk membawa gadis itu ke Las Noches.



Dan saat ini, aku telah berhadapan dengannya. Dia memiliki ekspresi menarik—sesuai dengan perkiraan.


"Kau mengerti, onna*? Ini bukanlah negosiasi. Ini perintah." Kulihat perubahan dalam wajahnya. Tekanan telah maksimum. Aku tahu pasti bahwa hatinya telah memilih pilihan satu-satunya.


Tinggal sentuhan terakhir agar sempurna…


"Ini terakhir kali aku mengatakannya…" kutatap lekat-lekat gadis berambut oranye itu sebelum melanjutkan, "…Ikutlah denganku, onna."


Dengan itu dia telah jatuh sempurna ke tangan Aizen-sama.


.

#

.


¶  PENCURI


MENCURI? Aizen-sama tidak memerintahkanku untuk melakukan hal rendah seperti itu. Aku tidak melakukan perbuatan rendah seperti mencuri –atau menculik.


Semuanya sederhana. Inoue Orihime hanya perlu memilih. Seperti yang sudah kukatakan, aku tidak bernegosiasi. Aku memberi perintah dan gadis itu hanya perlu memilih. Sederhana bukan?


Tidak percaya?


Baiklah, aku mengaku.


Aizen-sama, melalui diriku, adalah pencuri. Kami telah mencuri kesempatan gadis itu untuk memilih 'tidak'.


.

#

.


¶  CURANG


INI BUKAN suatu kecurangan. Aizen-sama bahkan tidak butuh kata itu dalam kamusnya. Untuk apa mencurangi lawan yang lebih lemah?


Mencuri pilihan bukanlah kecurangan, melainkan taktik. Lagipula, aku memberinya waktu dua belas jam untuk mengucapkan salam perpisahan kepada satu orang, bukan?


Semua begitu sederhana dan sempurna. Tak bercela. Karya Aizen-sama sama sekali tidak pantas untuk disisipi kata tak bermakna seperti itu.


.

#

.


¶  HILANG


GELANG TELAH DIPAKAI. Reimaku* telah menyelimutinya dan aku mampu merasakan reiatsu* gadis itu. Para arrancar mampu. Namun tidak dengan para shinigami dan manusia normal.


Segera setelah ia menggunakan gelang itu, ia mampu menembus segala objek berfisik. Segera setelah itu pula, ia menghilang dari semua manusia.


Hilang tak terlacak. Tak terlihat, tak terdengar, tak teraba, bahkan tak terasa.


Sempurna.


.

#

.


¶  KERTAS


INOUE ORIHIME BERJALAN keluar dari apartemennya. Dari atas, aku mengawasi kepergian gadis itu yang segera menghilang menembus dinding rumah-rumah di bawah sana.


Seperti menuruni anak tangga, aku berjalan melayang di udara. Aku menyusuri jalanku, lalu masuk menembus dinding ruangan apartemen kecil yang tadi ditinggalkan gadis itu.


Ruangan yang mungil dan rapih. Hanya tampak sebuah meja bundar kontras yang berada di tengah kamar.
Hamparan putih bergaris terlihat di atas meja, ditemani sebatang pena mungil yang tergeletak di sampingnya.


Aku menatap kertas putih itu. Halaman kiri terisi coretan dengan kata-kata biasa. Seperti pesan untuk beberapa orang yang menetap di rumahnya. Baiklah, kurasa ini tidak melanggar ketentuan.


Menelusuri setiap coretan tangan yang sederhana itu, mataku akhirnya menangkap coretan kecil di ujung kanan kertas. Di tempat tak bergaris, dicoret tipis dan halus.


Good bye, halcyon days?


.

#

.


¶  CINTA


AKU MEMPERHATIKAN gorden jendela yang bergoyang tak jauh dari kakiku yang mengambang di udara. Telingaku mengawasi dengan seksama segala perkataan yang meluncur dari gadis berambut oranye di dalam sana.


"Oh… seandainya saja aku mempunyai lima kehidupan yang berbeda dalam umurku," kudengar ia mulai bicara lagi. Entah pada siapa. Sejak tadi tak ada satu suara pun yang menanggapi perkataan gadis itu.


Tentu saja. Jika ada, maka gadis itu telah melanggar perjanjian. Dan artinya, misiku tidak lagi sempurna. Untuk mengantisipasi hal itulah aku berdiri di sini sekarang.


"… dan dalam lima kehidupan itu pula…" terdengar suara yang agak rendah dari sebelumnya, memancingku untuk kembali mendengarkan.


Gorden bergeser. Dari belakang, aku bisa melihat sebagian tubuh gadis itu yang berdiri tegak, menyilangkan tangannya ke depan paha.


"… aku akan jatuh cinta pada orang yang sama," bisik gadis itu kemudian.


Aku terdiam.


Cinta?


.

#

.


¶  BINTANG


BERDIRI DI ATAS rerumputan hijau yang halus, aku mengamati sekelilingku: sungai yang membelah kota Karakura, langit malam, dan bintang.


Sudah hampir waktu perjanjian. Sebentar lagi gadis itu akan datang kemari, setelah melakukan semua yang sudah diperintahkan.


Aku melempar pandang ke hamparan langit luas di atasku. Benda-benda berkelap-kelip menjadi teman lengkung bulan keemasan yang melayang di udara.


Hitam. Bulan. Mengingatkanku pada Hueco Mundo.


Semua begitu mirip. Hanya sinar-sinar kecil yang berbeda.


Bintang. Satu lagi wujud yang tak pernah kulihat sebelumnya. Wujud yang kini menemaniku menunggu.


.

#

.


¶  SYARAT


DUA BELAS jam. Waktu yang sungguh lebih dari cukup bagi gadis itu untuk meninggalkan pesan bahwa dia telah meninggalkan dunia nyata dengan keinginan sendiri.


Ia telah mengucapkan perpisahan yang tidak kumengerti kepada pemuda shinigami berambut oranye. Kata-kata yang tidak bisa kupahami.


Tidak penting, yang jelas, segala persyaratan telah dipenuhi.


Gelang yang menghilangkan eksistensi gadis itu di dunia nyata, waktu dua belas jam, dan tanda perpisahan hanya kepada satu orang saja, itu pun tidak boleh sampai orang tersebut mengetahui.


Rumit? Aizen-sama memang perancang yang jenius bukan?


Nah, syarat sudah dipenuhi. Waktunya kembali.


.

#

.


¶  PENUMPANG


AKU BERJALAN menyusuri kegelapan tak berujung. Bulatan putih yang mengambang di udara adalah satu-satunya objek fisik yang mampu dilewati. Seperti karpet bundar yang terbang, pijakan yang terbuat dari pembekuan reiatsu-ku terus melayang menyusuri pekatnya dimensi.


Sebenarnya, sebagai espada*, aku bisa saja langsung menembus kegelapan dan tiba di Hueco Mundo. Tapi tidak saat ini.


Kulirik penumpang di belakangku. Seorang gadis berambut oranye panjang yang sedang memandang nanar pada kegelapan pekat disekitar kami.


"Berhati-hatilah dengan langkahmu, atau kau akan terjatuh dan tertelan kegelapan," gumamku sambil kembali menatap kegelapan yang mulai mengerucut di depanku.


Meski tak mendengar jawaban, kurasakan gadis itu maju selangkah, nyaris menempelkan diri ke punggungku.


Penumpangku kali ini agaknya sedikit pendiam.


.

#

.


¶  PULANG


HUECO MUNDO, tanah yang berpasir dengan langit yang tak pernah menjadi siang. Las Noches, istana megah berwarna putih yang terlihat seperti fatamorgana di tengah gurun.


Tak ada yang berbeda dalam perjalanan pulang ini. Selain manusia hidup yang kubawa untuk Aizen-sama.


"Aku kembali, Aizen-sama," ujarku sopan sambil membungkukan tubuhku di hadapan pilar setinggi lima meter, dimana di atasnya, Aizen-sama duduk di kursi kehormatannya.


Aku tahu ia tersenyum ketika ia bergumam, "Kau sudah pulang, Ulquiorra?"


Sambil mengangkat kepala untuk menatap penguasaku, kakiku berayun menyamping. Membiarkan gadis di belakangku terlihat jelas oleh mata Aizen-sama.


"Selamat datang, di kastil kami: Las Noches," sapaan Aizen-sama kepada gadis itu bergema di ruangan.
Aku memejamkan mata. Dalam hatiku merekah kepuasan.


Misi telah kujalankan dengan sempurna. Gema suara indah Aizen-sama adalah bukti bahwa aku sudah pulang dengan tidak mengecewakan.


.

#

.


¶  MUSIK


INOUE ORIHIME mendemonstrasikan kemampuannya sesuai perintah Aizen-sama. Ia mengembalikan lengan kiri Grimmjow yang telah dihancurkan oleh Tousen-sama beberapa minggu lalu.


Rupi memandang tak percaya, setengah histeris karena emosi memenuhi perasaannya. Ia mengajukan rentetan protes tak berujung kepada Aizen-sama.


Makhluk menyedihkan. Ia tak pantas berdiri dalam lingkaran espada. Ya, bagaimanapun, semua sudah teratur dalam perhitungan Aizen-sama.


Membuat Tousen-sama menghancurkan lengan Grimmjow, mencabut Grimmjow dari daftar espada, membuat Rupi menggantikan posisi menjadi Sexta Espada*, lalu membiarkan Inoue Orihime mengembalikan lengan Grimmjow. Rencana jenius Aizen Sama telah terlaksana tanpa meleset sedikit pun. Kemudian seperti perkiraan, Grimmjow membinasakan Rupi—hanya dengan sekali serang. Sebuah cero tingkat rendah setelah lengannya kembali.


"Kembali…" terdengar bisikan penuh senang ketika serpihan terakhir tubuh Rupi menghilang dari pandangan. "KEKUATANKU TELAH KEMBALI!" Grimmjow berteriak histeris, bergema di ruangan besar milik Aizen-sama. "AKULAH NOMOR ENAM…"


Aku menutup kedua mataku, sekali lagi mengagumi kejeniusan Aizen-sama yang tanpa cela.


"…SEXTA ESPADA! GRIMMJOW! HAHAHAHAHAHAHA!" tawa menggelegar dan bergema di sekeliling kami.


Tanpa membuka mata pun, aku tahu bahwa Aizen-sama sedang tersenyum. Satu lagi musik indah di telinganya telah mengalun. Tawa penanda kesempurnaan rencana Aizen-sama.


.

#

.


¶  LABIRIN



SUARA LANGKAH kaki bergema di lorong panjang Las Noches. Dinding-dinding putih identik serta lantai berkeramik hitam yang memantulkan bayangan siapa pun yang melewati, menjadi teman kami dalam menyusuri lorong terang ini.


Ratusan langkah kemudian, aku berhenti di depan sebuah pintu tebal berwarna putih. Membuka pelan pintunya, aku meminggirkan tubuh agar sosok di belakangku bisa masuk.


"Ini kamarmu," ujarku.


Gadis berambut oranye di belakangku masuk perlahan. Matanya diam-diam menjelajahi seisi ruang itu. Sebuah sofa putih empuk, meja kecil berbentuk bundar, karpet, dan jendela berteralis besi yang menampakkan lengkung bulan.


"Tetaplah di sini dan tenanglah," ujarku ketika gadis itu menatapku.


Kulihat ia mengangguk pelan. Aku baru saja akan melangkah keluar ketika teringat satu pesan lagi.
Tanpa melirik, aku berujar, "Jangan sekali-sekali kau berkeliaran. Kau akan tersesat." Kemudian aku memutar kepalaku sedikit, menatapnya sedetik sebelum melanjutkan dan keluar, "Karena kastil ini seperti labirin."


Menutup pintu, aku lalu berjalan menyusuri lorong sempit berdinding putih.


Ya, tempat ini bagaikan labirin tak berujung. Sekali masuk, mungkin tak akan pernah bisa keluar lagi.


.

#

.


¶  LAPAR


AKU MEMBUKA lebar pintu putih di hadapanku. Kulihat Inoue Orihime, masih dalam balutan seragam sekolahnya, duduk diam di sofa. Nyaris tidak mendengar kedatanganku.


"Aku membawa makanan," sahutku, menyadarkan gadis itu dari lamunannya.


Gadis itu terkejut menyadari keberadaanku. Ia buru-buru berdiri, lalu berujar pelan, "Aku tidak lapar…"


Seorang arrancar suruhanku masuk membawa makanan. Setelah arrancar itu keluar, aku mendekati gadis berambut oranye itu.


"Makan itu."


Diam sejenak. "Aku tidak lapar," sahutnya tanpa melihatku.


Aku mendekat, membuat gadis itu menatap langsung mata hijauku. "Kau ada untuk Aizen-sama. Sekarang ini, Aizen-sama belum membutuhkanmu. Sampai saat itu tiba, kewajibanmu hanyalah menjaga diri."


Gadis di hadapanku menundukkan kepalanya.


"Aku tidak peduli kau lapar atau tidak. Sekarang makan, sebelum aku sendiri yang akan menelankan paksa makanan itu ke kerongkonganmu."


Dengan itu, ia membuang kata 'tidak' dalam pernyataan sebelumnya.


.

#

.


¶  MALAM


MASIH DI kamar yang sama, aku berdiri di dekat pintu. Aku diam. Mengamati dan menunggu gadis di ujung sana menyelesaikan makan malamnya.


Benar. Makan malam.


Aku melempar pandang ke satu-satunya jendela di kamar itu. Melalui teralis, yang mampu kulihat hanyalah lengkung bulan dan langit hitam.


Setiap waktu makan adalah makan malam, karena setiap saat adalah malam di Hueco Mundo.


.

#

.


¶  AIR


MENUNGGU. Masih itu yang kulakukan di kamar putih ini.


Mataku mengawasi gadis berambut oranye yang dengan perlahan menyuapkan makanan ke mulut mungilnya. Rasa tak sabar mulai menggerayangiku. "Begitu kau menyelesaikan makanmu, kita pergi," ujarku datar.


Hening tapa jawaban.


Hanya melodi sendok besi beradu dengan piring putih. Sangsi bahwa gadis itu mendengarnya, aku mendekat dan bergumam kembali, "Aizen-sama ingin bertemu denganmu."


Membulatkan mata, gadis itu menjatuhkan sendoknya.


Baiklah, kurasa ia mendengarku sekarang.


Lalu dengan bantuan segelas air bening yang bersinar terkena pantulan cahaya bulan, ia berhasil menelan suapan terakhirnya dengan selamat.


.

#

.


¶  DINGIN


INOUE ORIHIME BERJALAN pelan, mengikutiku dari belakang. Kami berhenti, lalu kembali ke ruangan putih yang baru ditinggalkan beberapa menit untuk menghadap penguasa Las Noches.


Gadis itu melangkah masuk. Aku mengikutinya, kemudian bergumam pelan, mengulang perintah Aizen-sama dengan bahasaku, "Pakai itu."


Mataku mengarah kepada selembar pakaian putih yang terlipat rapih di atas sofa. Gadis berambut oranye itu mendekat perlahan, meraih pakaian itu dan membentangkannya.


Aku berujar ketika melihat pakaian putih khas para arrancar di tangan mungilnya, "Sekarang kau adalah bagian dari kami."


Inoue Orihime mengangguk patuh, tanpa melirik sedikit pun. Tangannya mendekap pakaian putih tadi di dada.


Kali ini bukan perintah Aizen-sama. Hanya kata-kata yang meluncur begitu saja dari bibirku. "Lebih baik kau cepat memakainya. Udara Hueco Mundo terlalu dingin untuk manusia sepertimu," sahutku datar.


Rambut oranye bergoyang, gadis itu menoleh ke arahku. Memandang aneh sejenak sebelum kemudian menarik singkat bibirnya.


"Hai," jawabnya patuh.


.

#

.


¶  BISKUIT


PERTEMUAN DARURAT dilakukan tak lama setelah aku mengantar Inoue Orihime kembali ke kamarnya setelah bertemu Aizen-sama. Mengambil tempat di sebelah Primera Espada*—Stark, aku duduk di salah satu kursi putih dari sebelas kursi yang ada.


Terdengar gema langkah kaki, bersamaan dengan sapaan hangat dari Aizen-sama. Kulihat Ichimaru Gin dan Tousen Kaname berjalan di belakangnya.


"Selamat pagi, para espada," sapa Aizen-sama. "Kita telah diserang musuh," lanjutnya tanpa basa-basi.
Kemudian Aizen-sama duduk di kursi paling ujung, sehingga tepat sebelas kursi telah penuh terisi. Aizen-sama memberi pandangan hangat sejenak kepadaku yang duduk tepat di samping kirinya. Grimmjow di seberangku tampak tak acuh dengan kehadiran Aizen-sama. Sungguh makhluk yang tak pantas duduk di samping kanan Aizen-sama.


"Pertama-tama, aku rasa lebih baik kita perlu memanaskan teh terlebih dahulu…" gumam Aizen-sama.
Benar, tidak perlu terburu-buru. Kurosaki Ichigo dan teman-temannya tak akan menjadi gangguan sedikit pun bagi Aizen-sama.


"Bagaimana dengan sekaleng biskuit untuk sarapan?" Aizen-sama memberikan senyumannya kepada kami, kemudian memerintahkan seorang arrancar pelayan untuk membawakan sebelas cangkir teh serta piring-piring biskuit untuk semua espada.


.

#

.


¶  MANIS


GRIMMJOW BERLUTUT. Hanya dengan lirikan dan sedikit reiatsu dari Aizen-sama, ia berhenti bicara dan terduduk jatuh. Tentu saja. Aizen-sama adalah penguasa. Tidak boleh ada satu makhluk pun yang menentangnya.


Aizen-sama memerintahkan para espada untuk tenang dan menunggu. Menunggu hingga Kurosaki Ichigo dan teman-temannya yang datang sendiri ke tempat kami masing-masing. Tak ada komentar. Kata-kata Aizen-sama adalah mutlak.


"Jangan takut," ujar Aizen-sama. "Tidak peduli apa yang menghadang, selama kalian berada sejalan denganku, musuh seperti apapun…" ia memberi jeda sebentar, membiarkan kami meresapi kata-katanya. Lalu ia melanjutkan dengan sempurna, "… tidak akan pernah ada untuk kita."


Kesempurnaan. Jalan yang tampak dan mampu dilewati hanyalah jalan di samping Aizen-sama.


Beberapa saat kemudian, para espada kembali ke ruangannya masing-masing. Dalam sekejap, hanya tersisa aku, Aizen-sama dan Grimmjow yang masih berlutut.


"Ulquiorra…" panggilnya lembut.


Aku menatapnya, menanti perintahnya.


"Bukankah sebaiknya kau menghabiskan biskuit di piringmu?" tanyanya seraya melirik kepada sepiring kecil biskuit berbentuk lingkaran tepat di samping cangkir tehku.


Grimmjow melirik tajam kepada kami. Kemudian Aizen-sama bangkit berdiri, sekali lagi memperingatkan Grimmjow dengan kehalusan sikap yang luar biasa, seraya meninggalkanku terpekur di kursi yang sama.


Aku meraih sepotong kecil biskuit, menghiraukan kepergian Grimmjow, lalu mencicipinya segigit.


Manis, Aizen-sama.


.

#

.


¶  PUTIH


AKU MEMBUKA perlahan pintu putih tebal di depanku. Kupandang sekeliling ruangan dengan mata hijauku.
Inoue Orihime berdiri mematung memandang jendela berteralis. Jubah putih di punggungnya berkibar terhempas angin.


Seisi ruangan itu kini berwarna putih. Sofa, meja, karpet, dinding, lantai, hingga baju yang dikenakannya. Semua putih, kecuali rambut oranye panjang yang kontras dengan semua itu.


"Agak mengejutkan, pakaian itu ternyata cocok untukmu," ujarku sambil melangkah masuk setelah puas mengamati sekeliling.


"Waah! Ka—kapan kamu masuk ke sini?" Gadis itu terkejut, ia menoleh dan menatapku.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku mengayunkan kaki satu langkah sebelum berkata, "Ada laporan terbaru."


Mata gadis itu membulat tepat ketika aku menyampaikan berita tersebut. Bersamaan dengan itu, jubah putihnya kembali berkibar indah di bawah remang sinar bulan.


.
#
.

.bersambung.



Glosarium:
Arrancar: Sosok hollow yang telah melepaskan topeng hollow-nya dan mendapatkan kekuatan seperti shinigami.
Onna: Woman. Perempuan
Reimaku: Spirit Shell. Sebuah pelindung/penghalang spiritual yang memungkinkan penggunanya menjadi tak nyata bagi indra manusia, serta mampu menembus objek fisik.
Reiatsu: Spirit Force. Tekanan roh seseorang.
Espada: Arrancar pilihan yang berwujud mendekati manusia. Jumlahnya sangat terbatas dan memiliki kekuasaan untuk mengatur arrancar lain di bawah mereka. Dalam kasus Aizen, espada berjumlah sepuluh orang dan diberi nomor urut berdasarkan tingkat kekuatan.
Hai: Yes. Ya.
Sexta Espada: Bahasa Spanyol untuk espada keenam. Sexta artinya enam.
Primera Espada: Bahasa Spanyol untuk espada pertama. Primera artinya satu.

Disclaimer:
Setting and dialogues taken from Bleach manga chapters: 234 (Not Negotiation), 237 (Good Bye, Halcyon Days), 240 (Regeneration), 241 (Silver Flame), 244 (Born From The Fear), 245 (The Way With Out Enemies), dan 247 (United on The Desert)  

.
#
.

.next: SAYAP KEDUA.

God Only Knows (lyrics)

Thursday, July 28, 2011
God only knows

[Opening 01 Kami Nomi zo Shiru Sekai]
Oratorio The World God Only Knows [Vocals: ELISA]



第一幕 Chapter 1
What I’m seeing……Is it real?
What I’m feeling……Is it real?
What I’m doing……Is it real?


There is no regrets, satisfy my curiosities
There is a new world waiting, explore my possibilities
There is no guarantee, just improve my abilities
<Go ahead with your own life – Is there any hope in your sight?>
There is a choice to make, setting the right priorities
<You will always be the one, so feel the power
And you should know the sun comes up – For you>


There is no regrets, satisfy my curiosities
There is a new world waiting, explore my possibilities
There is no guarantee, just improve my abilities
There is a choice to make, setting the right priorities


第二幕 Chapter 2
<What is the best you can do? How can you do?>
I was sitting and thinking the other day
<What is the best you can do? How can you do?>
If I fail, I won’t throw my passion away
<What is the best you can do? How can you do?>
Just ’cause giving up is not the only way
No matter how it’s gonna be, I’ll try it anyway


第三幕 Chapter 3
Love is such a sweet illusion (Let’s come together)
Can’t seem to stop my imagination (Goes on forever)
What a ridiculous situation (Another matter)
But I can’t deny, I’m faced with a tricky temptation
In the world that keeps on changing
Don’t know why my heart is aching
Gotta handle it, no more hesitation
There can be no turning back


God only knows
“My mind is as free as the wind
But now what I should do is to fall in love”
God only knows
“I don’t need that kind of real things
Feels like I’m lost in the labyrinth”
God only knows
“There must be the meaning of life
Somehow unexpected happenings thrill me”
God only knows
“Just believe in myself and my dream
Anyone could be a hero and heroine”
God only knows
“Though it’s not so easy to get through
Here I am, I’m sure that things will go my way”


God only knows
“My mind is as free as the wind
But now what I should do is to fall in love”
God only knows <Your own happiness, you can find it>
“I don’t need that kind of real things
Feels like I’m lost in the labyrinth”
God only knows <Your infinity, you can feel it>
“There must be the meaning of life
Somehow unexpected happenings thrill me”
God only knows <Opportunity, you can take it>
“Just believe in myself and my dream
Anyone could be a hero and heroine”
God only knows <Toward the future, you can make it>
“Though it’s not so easy to get through
Here I am, I’m sure that things will go my way”


第四幕 Chapter 4
<Sailing, you’re sailing away
And now it’s blowing, breeze will take you away>


I feel that my spirits rise
I will survive and just stay alive
Enjoy being alone, the isolation is not always so bad
Another day has gone by, every day goes by
In the sky, there’d be a bridge to a bright tomorrow


<You will find your treasure and share your pleasure
Let me tell you……>


第五幕 Chapter 5
<Just keep your vision, your dream, and your soul alive
Be as you are, I will always be right by your side>


Think about my love and my life
In an uncertain world, face to face with myself
Continue to make progress, day by day and step by step
I’ve got a good feeling
So I’m gonna keep on trying, life will go on……

終幕 Reprise
credit: awesmoe.wordpress.com

Kana Nishino - If (lyrics)

Wednesday, July 27, 2011
mono- (c) katsuo
 If

Kana Nishino


moshi ano hi no ame ga
If the rain had stopped
yonde itanara
That day
kitto sure chikatte itadakeka mo
I might surely have just walked past you
itsumo toori no jikan ni
If the bus had arrived
basu ga kitetanara
At its usual time
kimi to wa deau koto ga nakattanda ne
I wouldn’t have met you
moshi mo sukoshi demo
If that instant
ano shunkan ga zuretetara
Had been slightly different
futari wa chikatta unmei wo tadotte shimatteta
We would have walked on separate paths of fate


kimi to onaji mirai wo
I always want to watch
zutto issho ni mite itai
The same future together with you
onaji hoshi wo onaji bashou de
Let’s look at the same stars
mitsumete you yo
At the same spot
kimi no egaku mirai ni
I wonder if I am present
watashi wa iru no kana
In the future you imagine for yourself
onaji sora wo onaji omoi de
I want to look up to
miagete itai yo
The same sky with the same feelings


kuchiguse ya shigusa mo
Our ways of talking and acting
yoku nite kita futari
Are really similar
maru de zutto mukashi kara shitteru mitai da ne
It’s like if we have always known each other
douji ni meeru shitari
Mailing each other at the same time
onaji koto omottari
Thinking about the same things
akai ito de biki yoserareteru no kamo
We might have been bound together by a red thread
guuzen wa saisho kara
We fit so well together, like if
mou kimatteta mitai ni
It was decided by chance right from the start
kasanatta futari wa unmeitte shinjite iru yo
I believe we are fated to be together


kimi no egaku mirai ni
I wonder if I am present
watashi wa iru no kana
In the future you imagine for yourself
onaji sora wo onaji omoi de
I want to look up to
miagete itai yo
The same sky with the same feelings
kimi to onaji mirai wo
I always want to watch
zutto issho ni mite itai
The same future together with you
onaji hoshi wo onaji bashou de
Let’s look at the same stars
mitsumete you yo
At the same spot
kimi no egaku mirai ni
I wonder if I am present
watashi wa iru no kana
In the future you imagine for yourself
onaji sora wo onaji omoi de
I want to look up to
miagete itai yo
The same sky with the same feelings


tatoeba namida no hi mo
So we may always walk
hare no hi mo futari de
On the same path, hand in hand
onaji michi wo itsumade mo
Even on days filled with tears
te wo tsunaide arukemasu you ni
And on sunny days


kimi to onaji mirai wo
I always want to watch
zutto issho ni mite itai
The same future together with you
onaji hoshi wo onaji bashou de
Let’s look at the same stars
mitsumete you yo
At the same spot
kimi no egaku mirai ni
I wonder if I am present
watashi wa iru no kana
In the future you imagine for yourself
onaji sora wo onaji omoi de
I want to look up to
miagete itai yo
The same sky with the same feelings

credit: jpopasia.com

Custom Post Signature

Custom Post  Signature