“Remember that wherever your heart is, there you will find your treasure.” (― Paulo Coelho, The Alchemist)

[fanfiksi]: SHERRY

Sunday, January 16, 2011

Sebuah fanfiksi. Di-publish di fanfiction.net pada 16 Januari 2011. Dihadiahkan untuk pijar-religia.


Judul: SHERRY
Fandom:
Detective Conan/Case Closed
Karakter: Miyano Shiho/Haibara Ai
Ringkasan: “Apa kau tahu—artinya SHERRY?” Air mata Shiho meleleh.  Karena Shiho adalah SHERRY.




.

#

.

SHERRY

[karena Shiho adalah SHERRY]

oleh: Faria

.

#

.

Shiho tidak ingat sejak kapan kode nama menjadi bagian dari identitasnya. Shiho hanya tahu orangtuanya yang meninggal. Shiho hanya tahu kakak perempuannya yang cemas. Shiho hanya tahu sisa-sisa penelitian yang diwariskan padanya.

Shiho tidak tahu cinta.

Shiho hanya tahu SHERRY.

Sepanjang kesadaran dan ingatannya, Shiho hanya berkutat dengan sains, dan kenangan-kenangan menyakitkan. Shiho tidak berhenti meneliti, hanya karena itulah yang tersisa jika tak ingin berkubang dengan yang satu lagi. Shiho mempertanyakan kematian, tapi tanpa suara.

Tikus-tikus laboratorium itu mati satu per satu.

Shiho membenci tikus laboratorium. Karena, setelah apapun yang diujicobakan pada mereka, Shiho terpaksa harus mengeluarkan kata yang dijauhinya seumur hidup.

Kenapa?

Ketika tikus-tikus mengecil, yang Shiho ingat adalah kematian kakak perempuannya.

Untuk delapan belas tahun membunuh karakter, Shiho merasa tercabik. Pertanyaan tanpa jawaban. Hipotesa tanpa fakta. Kenangan yang terkunci entah sejak kapan berputar-putar. Begitu saja, segala luka yang ditahan Shiho mengeluarkan darah. Deras, tidak bisa berhenti.

Shiho ingin mati.

Tuhan.

Shiho bahkan mengabaikan kata itu sejak lahir. Shiho tidak percaya Tuhan. Shiho sudah dikhianati. Shiho tidak lagi peduli. Shiho dibuang, dan Shiho tidak peduli.

Shiho tidak dicintai.


.


#

.

Ketika tersadar di tempat yang berbeda, Shiho nyaris melupakan segalanya.

Shiho hanya ingat SHERRY.

Sebelum Shiho bisa memutuskan apapun, hidupnya sudah berubah. Shiho merasa cemas. Shiho selalu merasa dikejar-kejar. Shiho takut. Shiho melarikan diri.

Shiho ingin mati. Sungguh.

Lalu kenapa tangan-tangan kecil itu menarik Shiho menuju cahaya? Karena Shiho dikenalkan pada cahaya dan kehangatan, Shiho merasa memiliki harapan. Shiho tersenyum. Untuk pertama kalinya, Shiho hampir menutup segala lukanya.

Shiho ingin melupakan SHERRY.

Tidak ada tikus-tikus laboratorium yang mati. Tidak ada udara dingin dan bau alkohol yang membuat sesak. Hanya ada bau darah. Hanya ada bau kematian. Tapi hanya cahaya dan kebenaran yang mengelilinginya.

Suatu saat Shiho bercermin, dan menemukan refleksi dirinya dalam balutan hitam. Hitam. Darah. Shiho berbeda. Shiho tidak bisa.

Shiho terombang-ambing.

Setelahnya hanya ada ketidakpastian. Kemana pun Shiho melangkah, yang tersisa hanya kepura-puraan. Senyum Shiho palsu. Seringai Shiho palsu. Air mata Shiho palsu.

Shiho merasa kosong.

Shiho merindukan SHERRY.

Mungkin Shiho sudah kehilangan kewarasannya. Mungkin berada di tengah cahaya adalah ide buruk. Shiho ingat bahwa yang diinginkannya adalah mati. Shiho ingat bahwa semua ini adalah ide Tuhan.

Itu dia.

Untuk kakak perempuan yang hanya bisa Shiho dengar suaranya melalui mesin penjawab panggilan. Untuk orangtua yang hanya bisa Shiho genggam dalam kertas kumal yang terlupakan. Untuk obat tidak masuk akal yang memenjara Shiho dalam tubuh kanak-kanak.

Untuk cinta yang tidak dikenalnya.

Tuhan pasti membenci Shiho.


.


#

.

“Jangan bodoh—”

Shiho mendengarnya.

“—kau hanya melarikan diri dari segalanya.”

Shiho ingin membantah.

“Kenapa—“

Tahu apa dia? Tahu apa tentang Shiho?

“—kau tidak berhenti dan belajar menerima?”

Apa?

Shiho terdiam.

Ketika mengamati wajah yang berbagi derita dengannya, Shiho tersentak. Shiho penyebabnya. Shiho yang menciptakan deritanya. Lalu Shiho yang selalu diselamatkan olehnya.

Shiho berhenti.

Shiho menginginkan SHERRY.

Untuk dia yang tanpa dosa. Untuk dia yang tidak pantas dengan selain cahaya. Untuk dia yang memberi senyum. Untuk dia yang menolong. Untuk dia yang melindungi.

Untuk dia yang terpisah dari yang dicintainya karena Shiho.

Shiho tersenyum getir.

Kalau Tuhan menantangnya, Shiho akan melawan. Kalau Tuhan merencanakannya, Shiho akan melawan. Shiho akan melawan. Shiho ingin melawan.

Untuk dia—

.

#

.

Shiho tidak meminta kebenaran.

Shiho tidak meminta kebahagiaan. Shiho hanya ingin segalanya kembali pada yang seharusnya memiliki. Shiho tidak menginginkan semua untuk dirinya sendiri.

“Kau tahu—“

Shiho tahu.

“—dua hal yang ditinggalkan orangtuamu?”

Shiho hanya tidak menyadari segalanya adalah kepingan puzzle.

“Itu adalah—“

Apakah penyelesaian selalu harus membuka semua rahasia? Shiho menang. Shiho tahu. Jika pun semua informasi adalah hadiah kemenangan, sejujurnya Shiho tidak ingin mendapatkannya.

“—APTX 4896 dan—“

Shiho seharusnya senang? Apa Tuhan mempermainkan perasaannya?

“—SHERRY.”

Sesungguhnya, Shiho tahu.

.

#

.

Shiho menggenggam SHERRY.

Tikus-tikus laboratorium lagi. Shiho pernah membenci mereka. Lalu sekarang? Shiho hanya mengamati mereka. Tidak ada yang mati.

Tuhan tidak benar-benar membahagiakan Shiho.

Itulah yang membuat Shiho sedikit bersyukur. Karena Shiho pernah memiliki resolusi. Karena segala yang Shiho lakukan hingga akhir semua ini adalah untuk dia.

Untuk dia—

Tikus-tikus membesar kembali.

Ketika Shiho menyodorkan kapsul yang dinanti-nanti, sesuatu di dalam perutnya bergolak. Shiho merasa sakit. Mungkin hanya Shiho yang hitam. Hanya Shiho yang kotor dan penuh dosa.

Hanya Shiho dengan keegoisan di hatinya.

Untuk senyum penuh dusta yang melengkung di wajahnya, Shiho mengutuk sesuatu bernama cinta. Shiho tidak mengenalnya. Shiho hanya mengenal emosi dan kemarahan setelah orang-orang tersayang tiada. Shiho tidak mengenal cinta seperti itu.

Shiho tidak tahu kenapa otaknya memutar rekaman sosok dia. Shiho tidak tahu kenapa setiap untai kata penyokong dari dia bergema di kepala. Shiho tidak tahu kenapa.

Shiho tidak ingin berpisah dengan dia.


.

#

.

Kapsul meluncur di tenggorokan. Shiho merasa tubuhnya panas. Shiho merasa pandangannya kabur. Pintu kayu yang membatasi dengan dia di belakang sana tidak membuat Shiho tuli. Sengal nafas yang sama.

Air mata datang begitu saja. Seolah itu adalah saat kematian Shiho.

Shiho tidak tahu. Shiho tidak bisa menguatkan dirinya. Shiho hanya ingin menangis. Karena setelah segalanya, Shiho tetap sendiri.

Shiho akan seorang diri.

“Kau menangis?”

Shiho tidak ingin menjawab. Shiho perlu berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Shiho perlu—sesuatu.

“Bodoh.”

Shiho mendengarnya.

“Kau tidak akan sendiri.”

Kenapa? Tuhan—kenapa?

Shiho merasakan sesuatu bergolak. Sesuatu meluap. Shiho tidak ingin berharap. Jangan beri Shiho harapan. Karena Shiho tahu untuk apa dia kembali.

“Aku tidak tahu—“

Jangan.

Shiho hanya perlu waktu untuk membuang perasaan itu. Jadi—jangan lukai dulu.

“—tapi setelah semua ini—“

Sengal nafas.

“—hanya satu nama yang melintas di pikiranku.”

Shiho tahu.

Shiho selalu tahu. Karena semuanya untuk dia

Sherry.”

Shiho tersentak.

Apa Tuhan baru saja membuatnya tuli? Atau Tuhan baru memberinya delusi? Tuhan… apa yang membuncah di hati Shiho ini?

Shiho tidak tahu.

“Hei, apa kau tahu—“

Shiho menahan air matanya.

“—artinya SHERRY?”

Shiho mencengkram lengan kecilnya yang tanpa busana. Panas. Nyeri. Tapi ternyata Shiho belum tuli. Shiho bahkan bisa mendengar dia tersenyum.

“Itu adalah bukti—“

Tuhan.

Shiho menggenggam tangannya di dada.

“—bahwa kau dicintai.”

Tangis Shiho pecah.
.

#

.


Shiho tidak ingat sejak kapan kode nama menjadi bagian dari identitasnya. Shiho hanya tahu orangtuanya yang meninggal. Shiho hanya tahu kakak perempuannya yang cemas. Shiho hanya tahu sisa-sisa penelitian yang diwariskan padanya.

Shiho tidak tahu cinta.

Shiho hanya tahu SHERRY.

Tapi itu dusta.

Itu bagian dari permainan Tuhan.

Shiho juga tahu foto-foto. Shiho juga tahu rekaman-rekaman. Shiho juga tahu sebuah surat.

Shiho tahu. Sebuah surat untuk dirinya yang berumur dua puluh. Ditulis dengan singkat dan lembut.

[Joyeux anniversaire, SHERRY]*

Shiho mencengkram pakaiannya.

Kenapa Shiho tidak menyadarinya lebih awal hingga Shiho perlu mengutuk Tuhan terlebih dahulu? Kenapa Shiho tidak melihatnya lebih awal hingga Shiho perlu membunuh diri terlebih dahulu?

Padahal botol-botol sherry yang terpajang di kamarnya dihiasi label berbahasa Perancis.

“Itu adalah bukti—“

Shiho bergetar.

“—bahwa kau dicintai.”

Air mata Shiho meleleh.

[Sherry]

Karena Shiho adalah SHERRY.

[Chérie]

[yang dicintai]

.

#

.

.end.

.

Keterangan:

*) Happy Birthday, SHERRY—dalam bahasa Perancis.

.
Dipersembahkan untuk pijar-religia. Karena ia tidak boleh melupakan cinta. Karena ia tidak boleh melupakan cita-cita. Karena ia tidak boleh melupakan mimpi. Karena ia adalah SHERRY.

Joyeux anniversaire, Pijar :)

[fiksi] Virtual

Sunday, January 9, 2011
Sebuah fiksi. Di-publish di fictionpress pada 10 Januari 2009.


Ringkasan: Mereka gila. Benar. Mereka gila. Kita tidak. Kau tidak. Jadi, apa kau tidak tertarik untuk merasakan mati?nyawa bukanlah sesuatu yang patut dipermainkan


disclaimer: gambar bukan milik saya

.
#
.


VIRTUAL

[ketika maya dan nyata merupakan ambiguitas]


oleh: Farah Zi

.
#
.


Apa kau tidak tertarik untuk merasakan mati?

Kata-kata itu berderet rapih di layar komputerku. Aku menyerengit, menatap aneh ketikan dengan font berwarna merah darah itu. Aku diam sejenak—berpikir. Kemudian mulai menyentuh tuts keyboard-ku.

Apa mati itu enak?

Itu yang kuketikkan pada kolom kosong di layar. Hanya berselang beberapa detik sebelum balasan muncul di layar.

Ya. Kau bisa terlepas dari segala penderitaan yang kau alami di dunia sialan ini.

Penderitaan… mungkin pernyataan tadi ada benarnya. Tapi—yang benar saja. Aku belum ingin mati. Konyol. Aku belum segila itu untuk mati. Meski aku mungkin sudah semenderita itu untuk menginginkannya.

Kuraih mouse berwarna hitam, menggunakannya untuk menutup halaman sebuah website berlatar hitam, kemudian bergerak untuk mematikan komputer.

Aku menjatuhkan tubuh beratku ke kasur berantakan di sudut. Entah sejak kapan kamar ini menjadi begitu suram di mataku. Semua terlihat tidak pada tempatnya. Lukisan abstrak itu, tempat sampah itu, kaca besar itu, juga tumpukan baju itu. Tapi yang sesungguhnya tak pada tempatnya adalah aku. Ya, aku tidak seharusnya berada di sini.

Semarang, sebuah kota yang begitu kurindukan. Tidak ada yang bisa menggantikan kota dan kehidupanku itu. Tidak kepindahan kami ke kota ini tiga tahun lalu, tidak juga sekolah aneh itu. Sekolah dimana para muridnya memiliki hobi menindas siapa saja yang mereka anggap tak sejajar—aku misalnya. Bukan itu sebenarnya. Aku masih merasa bahwa aku kuat dan bisa bertahan—jika saja Papa dan Mama tidak sejauh ini dariku.

Deru suara mobil menyadarkanku. Aku bergegas bangun, dengan cepat membuka pintu depan. Mereka sudah pulang. Dengan segurat kegembiraan dan kelegaan karena terpisah dari kesendirian, aku menyambut mereka.

"Ana? Sudah malam begini, kenapa belum tidur?" ujar Mama sambil masuk dan membanting tumpukan berkas di tangannya ke arah sofa. Ia menyandarkan tubuhnya sejenak di sofa biru itu sebelum membuka sepatu pantofel hitamnya.

Aku hanya diam mengamati ketika Papa masuk dan menghela nafas. Tangannya meraih dasi hijau yang dikenakannya, membuka dengan malas.

"Macetnya benar-benar nggak berubah meski lagi musim libur begini," gumam Papa lelah.

"Kamu sudah ngerjain PR untuk besok belum?" ujar Mama sambil mengaduk isi tasnya, entah mencari apa.

Aku tertawa miris dalam hati, rupanya PR terkutuk itu lebih penting daripada makanan yang kumakan siang tadi.

"Sudah, Ma," jawabku pelan.

"Besok nggak ada ulangan? Sana belajar," sahut Papa yang sedang membuka sepatu kulitnya.

"Kamu malam-malam begini belum tidur juga, jangan kebanyakan main komputer!"

"Sebentar lagi kamu kelas tiga kan? Harusnya kamu belajar supaya bisa masuk universitas negeri."

"Besok jangan lupa kamu bimbel, awas kalau sampai membolos."

Mama terlihat membuka anting perak berbandul yang dikenakannya seraya mengujar pada Papa, "Berkas yang tadi sudah dikasih kan?"

"Yang mana"

Mama mengacak tumpukan kertas di atas sofa, merundingkan sesuatu yang sama sekali tidak kumengerti dengan Papa. Mereka bahkan tidak menyadari ketika aku beringsut perlahan dari tempatku, kembali ke sarang gelap yang suram—kamarku.


Tengah malam baru tiba ketika aku meringkuk di kasurku. Daripada tidur, aku memilih untuk meratapi nasibku yang menyedihkan. Meratapi takdirku yang sama sekali tidak bagus.

Aku tak pernah menyangka bahwa pindah ke Bekasi adalah hal terburuk yang kualami dalam hidupku. Papa dan Mama menjadi dua sosok asing yang tak kukenali lagi. Keluhan mengenai kemacetan, selalu kudengar ketika mereka pulang. Setiap hari aku pulang sekolah hanya untuk mendapati rumah kosong dengan serantang makanan—katering yang dipesan Mama—di depan pintu. Sungguh tempat yang berbeda dari kota tempatku dibesarkan.

Pergaulan yang sama sekali berbeda, perlakuan yang sama sekali tidak adil dan menyakitkan. Aku sudah terlalu lelah untuk bertanya mengapa aku harus mengalami semua itu. Dimana keberadaanku hanya berarti ejekan di mata semua teman-teman. Dimana orangtuaku sama sekali tidak ambil pusing dan tidak percaya semua ceritaku. Mereka bilang aku terlalu sensitif, tidak mengerti humor, lalu menyuruhku beradaptasi.

Baiklah, adaptasi—pecuma. Aku mencoba, dan nyatanya sama sekali tidak berhasil. Semakin aku mencoba bergaul, semakin parah penindasan yang kualami.

Mengapa Papa dan Mama tidak mengerti? Aku menderita! Kesibukan mereka membuatku semakin gila! Aku anak tunggal, tidak punya teman, ditinggal mereka sendirian utnuk bekerja, lalu aku mengalami masa-masa menjijikan saat remaja!

Aku menghela nafas panjang, kemudian beranjak duduk di depan komputer yang menyala sejak tadi. Jari-jariku mengetikkan alamat website yang akhir-akhir ini rajin kukunjungi. Website aneh—sebuah forum tak lazim tempat berkumpul orang-orang penuh masalah dan ingin mati. Sebuah forum yang kutemukan secara tidak sengaja setengah tahun lalu.

Welcome back, Anna. Apa kematian menghampiri pikiranmu hari ini?

Itu adalah pesan dari teman virtual yang paling sering ber-chatting denganku. Aku tak tahu siapa dia. Yang kutahu hanyalah bahwa ia seorang mahasiswi, yang sudah berkali-kali mencoba bunuh diri karena stress menghadapi hidupnya.

Halo. Mungkin belum. Entahlah.

Balasan sederhana yang sungguh-sungguh jujur.

Anna, tidakkah kau merasa jenuh dengan semua kegilaan di luar sana?

Kegilaan katanya? Apa orangtua yang meninggalkanmu lalu datang dengan sederet perintah untuk belajar itu termasuk? Apa penindasan yang kualami sepanjang hari di sekolah itu termasuk?

Kau tahu, aku lelah. Ya—aku lelah dengan semua itu.

Aku memang lelah. Tiga tahun ini terlalu berat. Kapan aku akan keluar dari lingkungan gila ini?

Kalau begitu mati adalah jalan terbaik untuk lepas dari semuanya.

Gadis ini tak pernah behenti mengetikkan kata mati sejak pertama kami bertukar pesan. Mati adalah obsesinya. Sejauh ini ia sudah mencobanya lima kali, dan semuanya digagalkan.

Bukankah dengan mati kau melarikan diri?

Ya, itu adalah pendapatku mengenai bunuh diri.

Kau salah Anna. Biar kuberi tahu sesuatu. Orangtuamu gila. Teman-teman yang menindasmu gila. Semua gila. Yang waras sebaiknya mati, itulah yang seharusnya.

Aku memang bercerita tentang semua yang kualami padanya. Dia selalu berkata mengenai kematian. Entah kenapa aku mulai merasa semua yang dikatakannya masuk akal.

Haruskah aku mati?

Apakah itu yang kubutuhkan?

Kau waras—sepertiku. Ya, kita harus meninggalkan semua kegilaan ini.

Kegilaan. Sungguhkah di sekitarku adalah kegilaan? Apakah ini hanya rasa kesepian yang berlebihan?

Apa dunia di sekitarku termasuk 'kegilaan' menurutmu?

Agak lama sebelum muncul balasan panjang darinya.

Kau mulai gila, Anna. Tentu saja. Apa kau pikir teman-teman berengsek yang selalu mengejekmu, menertawaimu, membentakmu, yang pernah mendorongmu hingga jatuh, yang menyiram wajahmu dengan air pel, apa mereka kau sebut tidak gila?

Benar.

Mereka gila.

Agak lama sebelum balasan tiba.

Nah, itu dia. Lalu apa orangtua sialan yang tak peduli padamu, tak percaya akan ceritamu, selalu menyuruhmu belajar siang-malam di dalam sekolah laknat, apa mereka tidak gila?

Itukah yang mereka lakukan selama ini? Papa dan Mama yang menjadi aneh?

Mereka gila.

Benar kan? Orangtua macam apa yang seperti itu?

Benar. Mereka gila. Kita tidak. Kau tidak.

Ya, aku tidak gila. Lingkunganku adalah satu-satunya yang salah di sini.

Benar.

Lalu—apakah mati adalah satu-satunya yang kubutuhkan saat ini?

Apa kau mulai bisa merasakan bahwa kematian menjadi mimpimu?

Kata itu tak pernah begitu meracuni otakku seperti saat ini. Belum—sejak setengah tahun bergabung di forum ini, atau mungkin itu hanya perasaanku?

Sepertinya begitu.

Baiklah kurasa sekarang aku mulai gila.

Lalu tunggu apa lagi? Kau bebas. Aku diawasi 24 jam setiap hari setelah percobaan terakhirku gagal. Sudah kuduga seharusnya aku tidak mengiris pergelangan tangan. Lebih baik waktu itu aku terjun saja dari jendela.

Penyesalan yang aneh. Bagaimana kau bisa memilih untuk mati dengan tubuh berhamburan daripada mati dengan anggun—dikelilingi darahmu sendiri? Aku mulai berpikir akan sesuatu saat ini.

Ketika mereka menggagalkan aksimu bunuh diri, apa sikap mereka bertambah baik padamu?

Pertanyaanku melintas begitu saja di otakku. Aku menunggu agak lama sebelum membaca pesan balasannya.

Yeah. Munafik. Ketika mereka melihat luka goresan di pergelangan tanganku, mereka memandangku aneh. Ada yang meminta maaf, ada yang tiba-tiba menjadi perhatian, dan pastinya mereka tidak mengejekku lagi. Tapi aku tidak puas. Aku tidak butuh semua kenormalan itu. Aku hanya ingin mati.

Benarkah itu?

Jika benar… artinya aku punya satu kesempatan untuk mengubah nasib di sana.

Jika untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan aku perlu mengiris pergelangan tanganku sedikit, sepertinya… itu tidak terlalu buruk.

Apakah bunuh diri dengan menggores pergelangan tangan adalah cara yang paling baik?

Pertanyaanku mulai semakin melantur tidak wajar. Tapi aku tak segila itu, logikaku masih tersisa—sedikit.

Aku tidak ingin mati begitu saja. Aku hanya ingin… semua bertambah—sedikit—baik.

Jika kau ingin langsung mati—tidak. Tapi jika kau ingin memberi pelajaran pada semua yang menyakitimu—ya. Itu cara paling dramatis dan paling membuat orang lain merasa bersalah.

Aku berpikir sejenak, di otakku berputar sebuah rencana.

Mungkin besok aku akan pergi untuk membeli silet.

Benda itu yang biasa digunakan, kan? Aku sering melihatnya di film.

Silet? Benda kecil itu tidak akan berhasil. Gunakan pisau.

Pisau? Apa tak akan menyakitkan? Ah, aku gunakan silet saja. Lagipula aku tidak bermaksud mati seutuhnya.

Berapa lama aku bertahan sebelum mati kehabisan darah?

Kita lihat apa yang bisa dilakukan sebelum 'mati'. Apa aku akan sempat untuk menulis pesan kematian dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku? Menarik sekali.

Pengalamanku, sepuluh menit setelah menggores, mereka menemukanku dan aku selamat. Itu pun irisan yang cukup dalam. Jadi mungkin sekitar—lima belas menit?

Cukup untuk menulis panjang lebar penderitaanmu dengan darah di dinding rumah. Baiklah, aku sudah gila sekarang.

Begitu? Baiklah. Terima kasih banyak atas info-mu.

Aku mengetikannya, menunggu balasan terakhir untuk pesan hari ini.

Kita akan bertemu lagi, di dunia lain. Dimana hanya yang waras yang akan bertahan. Aku iri karena kau bisa pergi lebih dulu. Tenang saja, cepat atau lambat aku akan menyusulmu, Anna.

Aku merinding. Gadis itu memang gila. Tapi aku juga, karena aku mendengarkannya. Lupakan—semua rencana itu terlanjur berputar di otakku.


Hari yang kunanti dengan gelisah akhirnya tiba. Hari ini tepat sekali, aku meliburkan diri dengan alasan sakit. Papa dan Mama sudah berangkat kerja pagi-pagi. Aku juga sudah memastikan bahwa mereka pulang seperti biasa. Jadi di sinilah aku. Sendiri.

Kesendirian ini biasa kuhabiskan untuk menangis, membanting barang-barang, atau belajar. Baiklah, yang terakhir itu lelucon. Bagaimana aku bisa belajar jika setiap detik di sekolah kuhabiskan untuk gelisah dan menahan tangis? Semua sudah semakin tidak wajar, tidak pada tempatnya, dan ide gila ini melintas di otakku—terima kasih pada forum aneh di internet itu.

Waktu sekarang menunjukkan pukul 19.30. Hanya tersisa beberapa jam bagiku. Papa dan Mama bekerja dalam perusahaan yang sama, dan hampir dapat dipastikan mereka selalu tiba di rumah tepat pada 21.15. Kebiasaan tepat waktu yang menguntungkan.

Saat ini aku duduk di sofa, memandang—bukan menonton—acara di televisi. Hatiku sedikit gelisah dengan rencana ini. Tapi nyatanya aku tak bisa mundur lagi.

Baiklah, silet sudah ada di saku kemejaku. Pintu depan sudah tidak kukunci agar Papa dan Mama bisa menemukanku secepatnya. Tinggal menunggu hingga waktu tiba.

Oh, hatiku berdegup keras. Kali ini aku harus berani. Aku harus melakukan sesuatu.
Tenang saja, semua sudah kusiapkan dengan matang. Sakit sedikit, lalu keesokan harinya aku akan membuka mata di rumah sakit, dengan orang tua yang khawatir padaku, teman-teman yang iba padaku, dan luka hatiku yang tertutup.

Semua akan membaik. Ya—aku percaya itu.


Jam menunjukkan tepat pukul 21.00.

Lima belas menit lagi mereka pulang. Aku sudah menulis surat yang menjelaskan alasanku—kesepianku karena pekerjaan Papa dan Mama, hal tidak enak yang kualami di sekolah, serta penekanan bahwa aku lelah dan tidak kuat dengan segala tekanan yang kujalani. Menjalani hidup seperti ini lebih lama—lebih baik aku mati.

Aku tersenyum kecil. Kadang sinetron tidak jelas di layar kaca itu bisa mencontohkan sesuatu yang menarik juga.

Aku menarik nafas panjang, hatiku berdegup keras ketika aku meraih silet kecil di atas meja.
Baiklah, ini dia. Seperti kata teman virtualku, lima belas menit ketika ia mengiris dalam—dengan pisau. Artinya jika aku menggunakan silet, dan tidak terlalu dalam, mungkin bisa bertahan dua puluh menit.
Aku bangkit dari sofa, hanya untuk duduk di atas karpet hijau yang berada di bawahku. Posisi ini pas sekali. Aku duduk di depan meja kaca, menghadap pintu. Jika Papa dan Mama pulang mereka akan melihat semuanya dalam sekejap.

Aku melirik jam di dinding. 21.05.

Baiklah, sekarang waktunya.

Aku membuka kertas kecil yang membungkus silet itu. Tanganku agak bergoyang ketika benda tajam itu kupegang hati-hati.

Aku mengulurkan tangan kiriku, bergetar hebat ketika menempatkan silet tepat di pergelangan tangan.

Baiklah Anna, kau bisa melakukannya. Ini tidak sakit, kau akan segera selamat. Kemudian semuanya membaik. Seperti kata pepatah: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Ini tidak sakit. Kau bisa.

Waktu terus berjalan ketika aku menelan ludah. Aku berusaha menenangkan jantungku yang berdebar keras, keringatku yang mengucur deras. Tanganku bergetar, tapi aku memberanikan diri.

Kau bisa! Kau bisa! Ini demi kebahagiaanmu! Kau tak akan mati!

Lalu aku melakukannya. Kugoreskan silet itu tepat di atas nadi pergelangan tangan sambil memejamkan mata. Rasanya perih sekali, tapi tidak sesakit yang kuduga. Kemudian aku menggoresnya lebih panjang.

Malangnya, tangan yang bergetar membuat irisan yang kulakukan terlalu dalam dan terlalu panjang. Aku membanting silet berdarah itu ke lantai.

Memberanikan diri, aku menatap luka itu. Cairan merah segar mengalir deras dari luka itu. Dengan cepat menetes ke lantai, menodai meja kaca, karpet, juga kakiku. Cairan itu mengalir begitu deras, menyisakan rasa sakit aneh yang membuatku merintih.

Ini tidak apa-apa kan? Aku tidak akan mati kan?

Tentu saja Anna… kau pasti selamat. Lima menit lagi Papa dan Mama pulang, mereka akan menemukanmu.

Aku berusaha mengalihkan pikiranku dari cairan merah yang terus mengalir, menyebarkan bau anyir dan membasahi kulitku. Aku terus menenangkan diri bahwa semua baik-baik saja.
Lancar, terkendali dan sesuai rencana.

KRIIING!

Dering telepon nyaris membuat jantungku copot. Aku merasa tubuhku mulai lemas ketika memandang telepon di sudut ruang tamu. Benda itu mengagetkan saja.

KRIIING! KRIIING! KRIIING!

Telepon itu terus berdering tanpa bisa kujawab. Lupakan saja, mesin penjawab akan melakukannya untukku. Dering itu terus berulang beberapa kali sebelum bunyi khas terdengar.
KLIK. Silahkan tinggalkan pesan setelah—KLEK.

"Anna? Ini Mama. HP kamu mati, jadi Mama telepon ke rumah. Sakit kamu nggak tambah parah kan?"

Mama? Untuk apa Mama menelepon? Jarang sekali, kecuali

Tiba-tiba aku merasakan ketakutan aneh. Firasat buruk menderaku, memaksaku melupakan rasa sakit dan dingin yang menjalar di tubuhku seiring dengan darah yang terus mengalir. Semoga bukan hal yang kupikirkan.

Jangan biarkan firasat ini menjadi kenyataan.

"Maaf, tiba-tiba tadi Papa ada meeting mendadak. Ini baru selesai. Kami akan tiba sekitar… satu jam lagi. Kamu istirahat saja ya. Kami segera pulang."

TUUTtelepon terputus.

DEG.
Ternyata firasat buruk itu menjadi kenyataan. Detik itu juga aku merasa jantungku berhenti.
Apa katanya barusan? Mereka baru akan tiba satu jam lagi? Astaga—aku akan kehabisan darah sebelum itu!

Ketika itu aku merasakan tubuhku begitu lemas. Aku memandang luka yang tak berhenti mengeluarkan darah. Ketakutan hebat menjalar di hatiku. Ini tidak termasuk dalam rencana.

Apa artinya aku akan mati? Sungguhan?

Darah mengalir tanpa henti, seperti mengejekku dan menjawab—ya.

Tidak! Tidak! Bukan ini yang kuinginkan!!!

Aku berusaha beranjak, tapi ternyata tubuhku sudah begitu lemas karena mengeluarkan banyak darah. Aku terjatuh, terjembab dalam genangan darahku sendiri. Bau anyir dan basahan yang merembes di sekujur tubuhku membuatku semakin ketakutan.

Aku harus keluar dari sini, seseorang harus menemukanku. Aku tidak mau mati. Aku belum mau mati!
Air mata mulai menetes dari sudut mataku. Aku merangkak perlahan, menggerakan tubuh beratku untuk menuju pintu depan—yang terpisah cukup jauh dariku.

Darah itu tak berhenti. Sudah lima menit setelah aku menggoesnya, dan pandanganku mulai kabur. Apa ini karena tadi aku menggoresnya terlalu dalam?

Tidak—ini tidak boleh terjadi. Aku tidak mau hidupku berakhir bunuh diri. Semua ini hanya sugesti dan permainan dunia maya! Ini tidak boleh menjadi nyata!

Tiba-tiba bayangan pelajaran Agama yang kulalui di sekolah berputar di benakku. Aku ingat apa kata guruku, bunuh diri adalah dosa besar yang tak akan diampuni oleh Tuhan.

Oh tidak, apa yang sudah kulakukan?

Aku menangis, setengah mati aku berusaha merangkak, namun tubuhku begitu lemas. Pandanganku mulai menghitam. Aku berteriak meminta tolong—namun hanya rintihan kecil yang terdengar. Tak ada lagi rasa perih yang kurasakan.

Tangan kiriku mati rasa.

Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Otakku tak mampu berpikir lagi—kepalaku pusing luar biasa. Aku merasakan keringat dingin, dan mulai tak merasakan kakiku.

Bukan ini yang kuinginkan… Papa… Mama… aku belum ingin mati…

Meski penderitaan yang kualami sulit dan menyakitkan, aku masih ingin hidup. Aku ingin menjalani hidupku. Aku ingin bisa berubah, aku ingin tidak lagi menjadi sosok pendiam yang tak pernah bergaul. Aku masih ingin bertemu Papa dan Mama meski hanya beberapa jam saja setiap hari. Tuhan… kumohon ampuni aku…

Lamat-lamat, kesadaranku menurun. Bau anyir semerbak nyaris tak lagi dapat kucium. Aku hanya bisa memandang genangan merah di depan mataku, yang membasahi sekujur tubuhku.

Aku belum mau mati…

Lalu semua mulai gelap. Semua tak lagi jelas terlihat, tak lagi jelas terasa.

Inikah akhir bagiku? Inikah hukuman untukku karena mencampuradukan yang maya dan yang nyata?
Semua berputar, mulai redup, dan kurasakan nafasku semakin sesak.

Sayup-sayup, ketika aku hanya berpegangan pada sepotong kesadaran terakhir, aku mendengar suara pintu terbuka.

Sesorang… seseorang menemukanku… aku tertolong…

Atau… apa cuma halusinasi?

Lalu semua semakin pekat… makin hitam… Kesadaranku menipis, kurasakan nafasku semakin memburu.

Kumohon… aku masih ingin… hidup.

.

#

.

.end.

.

[Fanfiksi]: Melodi Patah

Friday, January 7, 2011
Sebuah fanfiksi. Di-publish di fanfiction.net pada 21 April 2010.


Fandom: Bleach
Karakter: Hitsugaya Toushiro; Hinamori Momo
Genre: Angst, Romance
Ringkasan: Melodi itu selalu mematahkan hatinya, namun ia hanya menunggu. Menunggu sampai saatnya ia yang akan mematahkan melodi itu dan membawa keluar gadis itu bersamanya.


 Bleach [character and art]©Kubo Tite  ||  art edited by: me

.
 #
 .

Melodi Patah

[mengacaukan harmoni, meruntuhkan nada]

oleh: faria

.
#
.

Tidak pernah sekali pun Hitsugaya Toushiro berhenti memikirkan gadis itu.


Tidak, meski sudah tidak tampak lagi senyum di wajah itu. Tidak, meski sudah tidak tampak lagi pipi penuh yang memerah itu. Tidak, meski sudah tidak tampak lagi helai rambut berkilau yang tergelung itu.


Tidak, bahkan ketika gadis itu tidak lagi mampu untuk sekedar mengucapkan nama Hitsugaya melalui bibirnya yang bergetar.


Mata gadis itu selalu memandang Hitsugaya dari balik selnya ketika Hitsugaya berdiri di sana, mengamati makanan yang belum tersentuh di depan pintu sel.


Sudah berapa lama?


Hitsugaya tidak lagi menghitung. Segalanya berakhir sebelum Hitsugaya sempat mengingat awalnya.


"Taichou…"


Melodi itu terdengar. Bergetar—rapuh, begitu ringkih dan menyayat hati.


Hitsugaya tidak pernah berhenti menyadari pandangan kosong yang dilontarkan padanya. Pandangan yang menelanjanginya, seolah dirinya tak lebih dari sekedar onggokan benda tak berarti yang menghalangi gadis itu untuk melihat yang ingin dilihatnya.


"Taichou…"


Tapi Hitsugaya tidak pernah sekali pun membentak gadis itu atas apa yang dilakukannya.


Atas panggilan yang tidak ditujukan kepadanya. Atas tatapan yang tidak diberikan untuknya. Atas kenyataan yang selalu dilarikan dari hadapannya.


Tidak sekali pun.


"Taichou…"


Sudah berapa lama?


Mengapa waktu seolah tidak berjalan di tempat itu?


Hitsugaya menatap, mengingat jelas segalanya. Anyir darah, kematian… jeritan…


"Taichou…"


Luka di tubuh gadis itu mungkin sudah tak kasat mata. Namun tidak perlu menjadi Hitsugaya untuk mampu melihat lubang menganga di hati gadis itu.


Menganga begitu lebar, tidak terobati. Meski yang tertusuk bukan gadis itu. Meski gadis itu hanya ingin melindungi pria itu. Meski gadis itu sudah diancam hukuman tak termaafkan karena menyebrang sisi. Meski gadis itu akhirnya hanya bermandikan darah pria yang tertusuk dua belas pedang dari seluruh sudut. Meski gadis itu kemudian hanya menjerit begitu pilu, memohon ampunan untuk pria yang tertawa mencemooh shinigami. Atau… meski segalanya hanya sudah berakhir beberapa musim lalu.


Ya, Hitsugaya tidak berhenti memikirkan gadis itu.


Gadis itu tidak merangkak satu inci pun dari keadaannya saat itu. Saat bermandikan darah, saat air mata habis, saat berada di tengah jeruji sel kosong yang dingin.


Tidak ada yang berubah.


"Kenapa…?"


Selalu sama.


Setiap hari, seperti melodi yang patah, Hitsugaya mendengarnya. Hitsugaya menatapnya, mencermati noda-noda kesedihan di bayangan gadis itu.


"Kenapa kau meninggalkanku…?"


Hitsugaya tidak pernah meninggalkan gadis itu. Selalu, selalu mengamatinya, berada begitu dekat di sisinya—hanya terpisah oleh batang besi dan jurang tipis bernama ironi.


"Kenapa… Taichou?"


Gadis itu memiringkan kepalanya, membiarkan Hitsugaya mengamati helai-helai yang rontok di antara halusnya yukata yang membalut tubuh kurus. Membiarkan Hitsugaya mengubur kenangan akan sosok gadis itu lebih dalam setiap detiknya.


Sudah berapa lama?


Kapan melodi yang patah akan kembali?


Langit tidak menjadi soal. Tempat itu tersembunyi, jauh tertanam di paling bawah. Hitsugaya tahu. Matahari tidak akan mencapai tempat itu. Tidak ada sinar yang akan menyentuh lubang di gadis itu.


Tidak meski Hitsugaya berusaha.


"Taichou… kenapa…?"


Hitsugaya tidak menyingkirkan pandangannya satu detik pun dari gadis itu. Tidak ada penunjuk waktu di sana. Hanya melodi patah yang selalu sama. Hitsugaya sudah mengingatnya dengan jelas, bahwa detik ketika sebuah nama diluncurkan dari bibir gadis itu, maka itulah saatnya keluar dari khayal tanpa matahari.


"Kenapa…?"


Hitsugaya memandang mata kosong gadis itu. Melaluinya, Hitsugaya melihat waktu yang tidak berputar. Rusak. Berhenti. Tanpa meninggalkan kesempatan untuk direkatkan kembali.


"Aizen Taichou…"


Dan itulah saatnya.


Hitsugaya akan membuka pintu sel, meletakkan nampan makanan tak tersentuh tepat di hadapan kaki gadis itu. Kemudian Hitsugaya akan pergi, kembali di hari berikutnya, menatap, mengamati, lalu membuka pintu sel lagi.


Melodi patah yang tidak pernah berhenti menyuarakan nada yang sama.


Namun Hitsugaya tidak lelah.


Derit jeruji dingin mengalun. Langkah-langkah kosong menggema. Kehangatan semangkuk sup menguap. Suara gadis itu menutup. Melodi sudah mencapai titik tertinggi yang bisa diraih dengan tertatih.


Waktunya Hitsugaya untuk kembali, dan mengulangi segalanya esok hari.


"Taichou…"


Siapa yang mampu bertanya mengapa kaki Hitsugaya kali ini seolah menempel dengan lantai kusam yang diam?


Hitsugaya diam. Mengamati, seperti yang selalu dilakukannya jutaan kali sepanjang hidup. Mengamati sinar tipis kehidupan yang berpendar di mata gadis itu.


"Aku mencintaimu…"


Seperti itulah sebuah improvisasi melodi akan mengacaukan harmoni. Meruntuhkan seluruh nada yang tersusun di atas puing-puing rapuh bernama kehidupan.


Sudah berapa lama?


Baru beberapa satuan waktu ketika melodi itu mencapai titik berbeda, lalu patah kembali. Berserakan di ujung kaki yang bergesekkan dengan lantai yang pura-pura tuli.


"Aku mencintaimu… Taichou…"


Untuk pertama kalinya setelah patahan itu berserakan tanpa pernah terkumpul kembali, Hitsugaya bergerak dan menyentuh gadis itu.


"Aizen Taichou…"


Hitsugaya memeluk gadis itu.


Terasa seperti sesosok boneka tanpa jiwa yang bicara dengan nada datar. Seperti sebuah batang tipis yang ringan dan dingin. Seperti bunga sakura layu yang kelopaknya berterbangan ketika disentuh.


Namun Hitsugaya tidak melepaskannya, tidak juga bersuara. Seolah Hitsugaya mengira suaranya akan merusak melodi itu jauh lebih dari yang sudah terjadi dengan sendirinya.


"Taichou…"


Tidak pernah sekali pun Hitsugaya Toushiro berhenti memikirkan gadis itu.


Tidak, meski sudah tidak tampak lagi senyum di wajah itu. Tidak, meski sudah tidak tampak lagi pipi penuh yang memerah itu. Tidak, meski sudah tidak tampak lagi helai rambut berkilau yang tergelung itu.


Tidak, bahkan ketika gadis itu tidak lagi mampu untuk sekedar mengucapkan nama Hitsugaya melalui bibirnya yang bergetar.


Tidak, bahkan ketika gadis itu tidak bergerak dalam pelukannya. Tidak pernah, meski gadis itu merantai cintanya dengan yang lain, dan tidak menyadari melodi patah yang selalu disuarakannya tanpa henti.


"Aku mencintaimu…"


Melodi itu selalu mematahkan hati Hitsugaya. Namun Hitsugaya Toushiro tidak membencinya.


Hitsugaya hanya menunggu.


Menunggu sampai saat dirinya mematahkan melodi itu dan membawa keluar gadis itu bersamanya—


"Aku mencintaimu… Hinamori…"


—menuju sebuah nada harmonis imajiner yang tidak akan patah untuk selamanya.

.
#
.

.end.


Custom Post Signature

Custom Post  Signature