“Remember that wherever your heart is, there you will find your treasure.” (― Paulo Coelho, The Alchemist)

Lembar Tiga

Monday, June 27, 2011

"…Thinking about the heavy past, the tears fell freely.
This desire won’t disappear.
It's impossible for me to forget…"
[—Iwase Ken, Proposal Daisakusen]
形而上的月と花 (c) 36



Kadang saya kagum bagaimana cepatnya suasana hati saya bisa berubah.

Halo, saya melaporkan kondisi hari ini adalah hujan deras tanpa lampu. Berdiri di bawah hujan, kuyup oleh butir tajam yang kejam itu. Ya. Ya, itu. Air mata yang lain.

Ketika saya mencoba berlari ke satu sisi untuk berhenti menyiksa diri, saya akan menemukan kenyataan bahwa sesungguhnya saya tidak pernah berhenti membohongi diri sendiri. Menyedihkan, menyedihkan.

Saya bisa melihatnya: kehidupan, masa depan, masa sekarang—namun saya masih belum bisa meninggalkan masa lalu. Jejak-jejak sialan itu mengikuti saya kemana saja. Setiap sederet kata, seulas gambar, seuntai melodi, apa saja yang menyerupai jejak-jejak itu, saya akan menangis.

Konyol.

Saya tidak pernah menyangka akan seperti ini akhirnya. Bahwa setelah segala keteguhan hati ketika itu, saya adalah orang yang berakhir menangisi segalanya. Tidak, saya tidak pernah menyesalinya—apapun. Saya hanya menangisi-nya.

Anda pasti tertawa melihat saya sekarang, Tuan Masa Lalu.

***

Banyak hal nyata yang saya lalui. Waktu berjalan terlalu cepat. Kewajiban, amanah, tanggungjawab—seluruhnya menuntut perhatian. Kadang saya begitu lelah dan ingin menghilang saja. Yah, tidak semudah menuliskannya. Bagaimanapun, semua itu pilihan saya.

Selama menjalani studi, saya bertemu banyak hal, mengamati macam-macam wajah kehidupan manusia. Salah satunya adalah keegoisan.

Bagaimana mungkin hal yang seperti itu disebut tidak egois? Untuk pertama kalinya selama hidup, saya benar-benar melihat betapa tidak seimbangnya keegoisan saya. Apa yang saya perjuangkan? Apa yang saya bela sebenarnya? Apa yang mati-matian saya pertahankan hingga mengorbankan sesuatu yang begitu (terlalu) berharga?

Nihil.

Semuanya hanyalah baying-bayang abstrak. Pada akhirnya, ketika saya menggapai semua itu, tidak ada yang tersisa di bawah kaki saya.

Keegoisan itu mengerikan. Semuanya menyebalkan, karena saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa melakukan seperti itu—menistai tanggungjawab dan lainnya. Konyol. Padahal tidak satu pun orang bisa melakukan keegoisan seperti saya—mendustai kasih saying,

Lucu sekali.

Inikah yang Anda katakan ketika itu, Tuan? Saya yang keras kepala tidak akan mengakui sebelum melihat—merasakan—sendiri segalanya. Bukan berarti Anda adalah Tuan Selalu Benar, tapi saya cukup mengerti beberapa titik kesalahan saya.

Ah. Terlalu banyak melewatkan hari seperti ini membuat saya gila.

Terlalu banyak waktu yang disia-siakan. Tetap, saya tidak bisa membawa diri saya menuju kebangkitan untuk menata ulang seluruhnya. Bisa dikatakan, segala sisi kehidupan saya berantakan. Hancur. Porak poranda. Segalanya tinggal serpihan.

Saya tenggelam di dalam seluruhnya, dan bahkan tidak bisa melakukan sesuatu untuk membersihkan kekacauan itu.

Berusaha merajut tali-tali harapan dan berpegang pada mereka. Satu, dua, tiga, mungkin empatbelas hari saya bisa bertahan. Tapi kemudian satu pecahan menusuk, melepaskan pegangan pada tali itu, dan menyeret saya kembali pada keputusasaan.

Yang paling mengerikan adalah… saya terlalu realistis untuk sekedar menjadi seorang gadis melankolis yang minta dikasihani. Yang paling mengerikan adalah… terlepas dari segala ketidakberhinggaan ini, saya menjalani hidup dengan rutinitas normal seperti biasanya. Yang paling mengerikan adalah… saya tidak tahu lagi apakah senyum dan tawa di wajah saya adalah palsu.

Yang paling mengerikan: segalanya berubah, namun tidak sama sekali pada saat yang bersamaan.

Lalu, apakah salah jika saya hanya bisa menabrak segala serpihan kacau di sepanjang proses keluar dari reruntuhan? Tidak salah, sama sekali. Yang salah adalah fakta bahwa itu hampir berlangsung selama dua tahun tanpa henti.

Saya tidak pernah jatuh sedalam ini sebelumnya.

***

Halo, saya melaporkan kondisi hari ini adalah hujan deras tanpa lampu. Hanyut terbawa air hitam kemerahan yang tergenang. Ya.

Ya, itu. Air mata yang lain.

Saya merindukanmu, Matahari.

Aqua Timez - Mayonaka no Orchestra (lyrics)

Wednesday, June 22, 2011

真夜中のオーケストラ
-Mayonaka no Orchestra-
[Midnight Orchestra]

Aqua Timez


mayonaka no uta ga sakenda
“Boku hontou wa  ano hi kara zutto..."
The midnight song I cried out went 
"In reality, ever since that day, I..."
 
 
akaku sukitooru yuugure no ato  
hoshitachi wa sora ni suwari
sorezore no oto wo kanadeteita
After the glowing twilight
the stars took their place in the sky 
and each played its own tune
sunao ni nare to iwarenakute mo
Even if I can't say I've become honest,
namida wa mou  
boku no omoi wo tsurete 
ashimoto de chiisana umi ni natta
Tears have now merged 
with my emotions 
and a small sea has formed at my feet
 
 
sora wa ugokanai 
hi ga nobori oriru dake
The sky doesn't move 
the sun simply rises and sets
jimen wa ugokanai 
kimi ga aruku ka 
 arukanai ka dakeda
The ground doesn't move 
you only either walk or stand still 


mayonaka no uta ga sakenda 
"Boku hontou wa  hitori ga kirai da  
daikirai da"
The midnight song I cried out went 
"In reality, I don't like being alone... 
I truly hate it"
taisetsu wo shitte shimatta  
ano hi kara zutto
I've come to know what's important 
ever since that day
shiawase nante chiisana SUPUUN de 
sukueru kurai de  juubun nanda
A small spoon is almost enough 
to scoop up happiness
wakeaeru hito ga iru ka  
inai ka dakeda
Is there someone to share it with 
or must I keep it to myself?


tsuyogaru tabi ni hibi ga hairu  
kokoro wa sou  
A new crack appears every time 
I pretend to be strong 
maru de GARASU saiku ga miseru 
hakanai yume
so it appears that my heart 
must be made of glass
just like an empty dream
junsui wo butsukeau no ga 
kowai kara  bokura wa mina
Since we're afraid of messing with purity
each and every one of us has acted
sure tafuri wo shite  
futoumei na sekai ni sumitsuita
As though we have settled down 
in this opaque world


omotai jiyuu wo hikizutte  aruiteta
I've walked dragging a weighty freedom along
wakare ga kuru tabi  
each time separation would come
sora ga toozakatte 
yuku you ni mieta
it seemed as though the sky would sink back


sayonara no ame ga tsubuyaita 
"Karita mama no kasa ga arunda  
koko ni arunda"
Farewell; I muttered in the rain 
"You can borrow my umbrella... 
that's what it's here for"
karita mama no yasashisa ga  
kono mune ni zutto
I'll give you the kindess always 
found inside my heart
boku ni wa mada  akiramete inai  
saikai ga aru  yakusoku ga aru
I still haven't given up on the chance of 
there being a reunion; that's a promise
hoshikuzu wo BEDDO ni shite  
nemutteiru ano hito ni
To the person who sleeps with 
stardust as a bed


kisetsu no nai machi ni 
shagamikomu otoko no ko
In the town with no seasons 
crouches a sad young boy
atama wo nadete kureru 
hito ga inakatta dake  
sore dake na no ni
There's simply no one there 
to stroke his head
but despite that...


hoshi to mitsumeau  
samugari na kodomotachi
The children who suffer from the cold 
gaze up at the stars 


mayonaka no uta ga sakenda 
"Boku hontou wa hitori ga  kirai da  
daikirai da"
The midnight song I cried out went 
"In reality, I don't like being alone... 
I truly hate it"
hitoribocchi de  ikite yukete 
shimau nante koto
I've always lived on 
by myself in solitude
shiawase nante chiisana SUPUUN de 
sukueru kurai de  juubun nanda
A small spoon is almost enough 
to scoop up happiness
wakeaeru hito ga iru ka  
inai ka dake
Is there anyone at all to share it with 
or must it be kept to myself?


mayonaka no uta wa sakebu yo 
"Boku hontou wa  boku hontou wa  
sabishikatta"
The midnight song I cry out goes 
"In reality, I... in reality, I... 
was very lonely"
taiyou no mabushisa ni  
kakikesarete mo
Even if it is erased by the blazing sun
saa  hata wo furou ka kata wo 
kumou ka tada utaou ka  
doredemo ii yo
Come on, you can always either wave a flag
go on each other's shoulders or 
just sing something
wakeaeru kimi ga iru ka 
inai ka dakeda yo
It's just a matter of whether there's 
someone to share it with or not

Credit: animelyrics.com

[Fanfiksi]: Mempercayai Takdir

Monday, June 20, 2011
Sebuah fanfiksi. Di-publish di fanfiction.net pada 18 Juni 2010. 

Fandom: Naruto 
Karakter: Hyuuga Hinata; Hyuuga Neji 
Genre:Romance/Tragedy 
Ringkasan: Lupakan air mata, kau bahkan mengobral darahmu hanya demi pemuda itu—seorang Uzumaki Naruto. Semuanya tidak akan sesulit ini, jika saja kau mau mempercayai takdir. 

.

#

.
Sebesar apapun kau mencintainya, ia tidak pernah berpaling padamu.
Sebesar apapun kau menginginkannya, ia tidak pernah membalas cintamu.
Bahkan ketika kau mampu merantai raganya tepat di sampingmu, hatinya tidak pernah bisa menjadi milikmu.
Sekarang kau bisa mempercayai takdir, bukan?

Naruto [character and art] ©Masashi Kishimoto || art edited by: me
.

#

.

Mempercayai Takdir

[mebutuhkan sesuatu yang membuat perasaan mati untuk selamanya]

oleh: faria

.

#

.

Sudah tidak terhitung lagi berapa waktu yang kau habiskan untuk memandang sosok pemuda berambut pirang itu dari kejauhan. Tapi kau tidak pernah lelah. Membiarkan mata ungu keparakanmu hanya terpaku di satu titik sejak bertahun-tahun lalu.

Lupakan air mata, kau bahkan mengobral darahmu hanya demi pemuda itu. Hanya demi seorang Uzumaki Naruto.

Dulu, ketika masih menyandang titel murid akademi, kau mampu merasa sedikit berbangga hati menjadi satu-satunya yang menambatkan mata ke sosoknya. Sosok Uzumaki Naruto yang selalu gagal, yang selalu sendiri, yang selalu diacuhkan orang-orang.

Namun itu hanya sementara.

Menginjak masa-masa genin, Uzumaki Naruto mulai membiarkan matahari menyinari langkahnya. Kau sedikit terkejut ketika orang-orang mulai menaruh perhatian padanya, kan?

Tutupi saja segalanya dengan senyum malu-malu dan wajah merahmu, tapi segalanya jelas—kau mulai cemburu.

Ingatkah bahwa kau adalah salah satu yang terlambat mengetahui kehebohan ketika Uchiha Sasuke meninggalkan desa? Ketika kau mengetahuinya, Uzumaki Naruto sudah terbaring aman dalam perawatan.

Kau pasti menyadarinya, kan? Uzumaki Naruto tidak akan pernah menyadari perasaanmu. Tidak akan. Karena sejak saat itu, yang terpantul dalam mata biru safirnya hanyalah punggung Uchiha Sasuke, yang haus akan dendam.

Uchiha Sasuke selalu sempurna. Kau bahkan menyadari bahwa kau tidak akan mampu menyejajarkan namamu di samping namanya.

Uzumaki Naruto kembali dengan tangan kosong, tanpa sedikit pun berhasil membawa Uchiha Sasuke kembali. Ketika itu, bukankah terselip perasaan lega di hatimu? Kau senang, kan? Kau berharap Uzumaki Naruto akan menyerah dan melupakannya, kan?

Setelahnya, kau mati-matian mencoba memanfaatkan waktu yang bisa kau dapatkan untuk berada lebih dekat dengan Uzumaki Naruto. Misi-misi kecil yang hampir selalu gagal diselesaikan, hanya karena terbawa suasana bersama Uzumaki Naruto.

Lupakah kau akan nama besar Hyuuga di depan namamu? Apa yang orang katakan mengenai putri tertua klan Hyuuga yang bahkan tidak becus menyelesaikan misi tingkat C untuk genin?

Kau seharusnya mulai belajar menghadapi kenyataan ketika Uzumaki Naruto pergi meninggalkan desa bersama seorang sannin terkenal. Semestinya saat itu kau segera paham bahwa nama Uchiha Sasuke tidak bisa dienyahkan dari pikiran Uzumaki Naruto.

Dua setengah tahun adalah waktu yang panjang untuk membunuh perasaan sia-sia itu. Tapi kau tidak melakukannya.

Seperti rambut indigo-mu yang memanjang sempurna, perasaanmu terus tumbuh dan kau jaga dengan baik. Terus, terus, hingga akhirnya kau bertemu dengannya kembali.

Apa kau mengira Uzumaki Naruto akan terpesona memandangmu, lalu melupakan Uchiha Sasuke dan bersanding denganmu?

Seharusnya kau mengerti bahwa takdir sudah memberikan semua pertandanya bagimu. Waktu yang kau habiskan untuk memandangnya setelah itu menjadi sia-sia. Uzumaki Naruto kembali ke desa hanya untuk mengingatkan semua orang bahwa Uchiha Sasuke akan dibawa pulang cepat atau lambat.

Kau tahu itu.

Betapa besar usaha yang kau lakukan untuk menyembunyikan perasaanmu sendiri ketika kau terlibat dalam misi yang berkaitan dengan pencarian Uchiha Sasuke. Luar biasa, kau mampu melebur kecemburuanmu menjadi byakugan sempurna yang bermanfaat untuk mendekatkan langkah Uzumaki Naruto dengan Uchiha Sasuke.

Itu konyol.

Ketika desa sedang terdesak, kau menemukan sekali lagi dirimu terbius oleh Uzumaki Naruto yang datang sebagai pahlawan penyelamat. Kau tidak perlu mengucapkan kata bangga, karena sesungguhnya di dalam hatimu terdapat keegoisan. Semakin bersinar Uzumaki Naruto, semakin banyak mata tertuju padanya. Kau tidak suka itu, kan?

Lalu kau membiarkan darahmu mengalir begitu saja, mencoba agar Uzumaki Naruto menoleh padamu. Kau tahu bahwa itu sia-sia saja. Untuk membuat Uzumaki Naruto menyadarimu, kau butuh pengorbanan nyaris sebesar nyawamu. Jika kau ingin Uzumaki Naruto berpaling padamu, pengorbanan apa yang bisa kau bayar?

Masihkah kau tidak percaya bahwa takdir sudah memperingatkanmu?

Kemudian segalanya berlangsung begitu cepat. Kau tidak lagi bisa mengerti bagaimana Uzumaki Naruto menjadi penyelamat tidak hanya di mata desa sendiri, tapi di seluruh mata dunia ninja. Kebanggaan yang dulu bisa kau selipkan di balik wajah kemerahanmu runtuh, kan?

Lihat berapa banyak sainganmu sekarang, bisakah kau mengalahkan mereka semua? Ah, tapi sebenarnya sainganmu hanya seorang saja. Yang tidak mungkin bisa kau kalahkan.

Kau tidak lagi bisa menyembunyikan gurat kekecewaan saat kau melihat sosok Uchiha Sasuke berjalan di samping Uzumaki Naruto yang tersenyum begitu cerah. Senyum yang kau tahu tidak akan pernah ditunjukkan kepadamu.

Lalu kau mulai menangis.

Tapi sudah terlambat. Takdir tidak lagi memberimu ruang untuk melarikan diri dari kenyataannya. Kau sudah membuang kesempatan itu di tahun-tahun sebelumnya—berkali-kali hingga takdir tidak lagi mengasihanimu.

Dulu kau bisa dengan manis dan cerah mengagumi mimpi Uzumaki Naruto menjadi Hokage. Namun ketika segalanya terjadi di hadapan mata perak keunguanmu, kau hanya bisa menampakkan senyum palsu di depan semua orang.

Menyedihkan.

Kau tidak lagi bisa berpikir jernih untuk membangun kehidupanmu sendiri. Tahun-tahun yang kau sia-siakan percuma untuk pemuda itu kini menjadi bumerang bagimu. Kau melupakan klan Hyuuga—melupakan posisimu sebagai anak tertua yang suatu saat akan mengambil alih pimpinan klan.

Percuma memberontak. Takdir sudah merantaimu bersamaan dengan mata perak keunguan yang tertanam indah di ceruk wajahmu.

Masih bisakah kau memunculkan harapan dan mimpi kanak-kanakmu akan seseorang bernama Uzumaki Naruto yang kini sudah tidak terjangkau olehmu? Setelah semuanya terjadi, setelah kedewasaan menamparmu dalam kenyataan hidup seorang ninja?

Menangislah, hingga kau bosan. Tataplah pemuda itu dan kehidupan barunya yang bersinar, hingga kau muak. Lalu akuilah takdirmu.

Sekarang kau duduk di sana seperti sebuah boneka tidak bernyawa yang memandang hampa pada segalanya. Kau hanya menjawab sopan segala perintah ayahmu, memberikan salam pada seluruh klan Hyuuga.

Kau tidak bisa lari. Kau tidak punya pilihan, karena sejak awal takdir sudah memilihkannya untukmu.
Seluruh mata perak keunguan di ruangan ini menuju pada sosokmu yang anggun dalam balutan kimono putih dengan gurat-gurat ungu pucat. Kau tidak lagi memandang sosok ayahmu yang menjadi saksi bagi pengakuanmu terhadap takdir.

Kau mencoba kuat, mencoba menjadikan dirimu boneka ber-kimono yang anggun dan tidak berekspresi, namun percuma. Seharusnya kau bisa melihat saat bola matamu memancarkan geliat penderitaan.

Kau tahu persis ayahmu menyadarinya. Kau tahu bahwa seluruh klan Hyuuga di ruangan ini menyadarinya. Seisi desa mengetahui perasaanmu pada pemuda itu. Semua tahu—kecuali pemuda itu sendiri.

Tapi tidak ada yang mencoba menyelamatkanmu dari tempat ini.

Ini bukan dunia mimpi, Tuan Putri. Kau seharusnya sudah membuka mata sejak lama. Di sini, tidak segalanya berakhir dengan bahagia. Kau seharusnya sudah lama mengetahuinya, jika saja kau mau mendengarkan suara takdir.

Suara ayahmu menggema, membacakan janji dan sumpah yang harus kau ulangi dengan suaramu sendiri.

"Apakah kau, Hyuuga Hinata, bersedia menerima Hyuuga Neji sebagai suamimu, baik dalam keadaan suka maupun duka, dan bersumpah terus di sampingnya hingga kematian menjemput?"

Ya, ini giliranmu.

Kau mulai membuka bibirmu. Ah, lihat betapa bibir merah muda itu bergetar. Lihat betapa kedua mata indahmu mulai menjerit meminta air mata diizinkan mengalir.

Semuanya tidak akan sesulit ini, jika saja kau mau mendengarkan takdir.

"Aku bersedia."

Setetes air mata mendarat di kimono putihmu.

Ya. Seandainya saja kau mau memalingkan wajahmu sedikit saja dari pemuda itu, dan mengizinkan takdir berbicara pedamu, kau akan mengerti. Kau akan memahami lalu menerima segalanya sebagai sesuatu yang kau percaya menjadi kehidupanmu.

Seperti aku mempercayai takdirku ini, Hinata Sama.

.

#

.

Sebesar apapun aku mencintainya, ia tidak pernah berpaling padaku.
Sebesar apapun aku menginginkannya, ia tidak pernah membalas cintaku.
Bahkan ketika aku mampu merantai raganya tepat di sampingku, hatinya tidak pernah bisa menjadi milikku.
Aku tidak pernah meragukan takdir, maka aku bisa menerimanya.
Kita berada di posisi yang sama. Seharusnya sekarang kau bisa mempercayai takdir bukan, Hinata Sama?

.

#

.

.end.
.

[Fanfiksi]: Batas Hujan

Friday, June 17, 2011

Sebuah fanfiksi. Di-publish di fanfiction.net pada 15 September 2010. Dianugerahi sebagai The Best Canon/In Character Fanfiction for Oneshot dalam Indonesian Fanfiction Awarads 2010.
Fandom: Bleach
Karakter: Kurosaki Ichigo; Kuchiki Rukia
Genre: Drama, Angst
Ringkasan: "Aku hanya roh. Kau manusia. Kita tidak bisa." Satu yang mereka tahu hanyalah bahwa hujan akan membatasi sampai mereka bertemu kembali.
Bleach [character and art]©Kubo Tite || art edited by: me
.

#

.

Batas Hujan

[Manusia. Roh. Janji]

oleh: faria

.

#

.
Ketika mereka bertemu kembali, segalanya sudah usai.

Segalanya usai—Perang Musim Dingin, konspirasi, dendam, juga kisah-kisah. Ikatan yang menghubungkan mereka sudah usai. Maka mereka tahu, ketika mereka bertemu kembali, segalanya akan menjadi yang terakhir.

Rasanya seperti kembali saat perjumpaan pertama mereka. Pemuda berambut oranye dan gadis berambut hitam. Seragam sekolah dan hakama hitam. Mungkin yang berbeda hanya hujan rintik yang membatasi sosok mereka ketika berdiri di tepi sungai kota Karakura.

Keheningan itu akhirnya terpecahkan di tengah senja suram yang basah. "Semuanya sudah selesai."

"Ya."

Tidak ada saling memandang. Mereka paham, saling melihat eksistensi satu sama lain hanya akan menambah luka yang ditorehkan realita. Meski gemuruh di dalam hati seolah tak tertahankan, mereka bertahan memakukan pandangan pada air sungai yang beresonansi tersentuh titik hujan.

Baik pedang maupun tas sekolah, keduanya mulai basah. Tetapi, baik rambut hitam maupun oranye, tidak ada yang berniat peduli untuk memayungi diri. Hanya berdiri bersisian, memandang titik imajiner di horison kelabu.

"Kau tahu, Rukia?" Suara si pemuda nyaris tertelan hujan.

"Aku tahu," si gadis memotongnya.

"Aku belum selesai."

"Aku tahu."

Jeda.

"Ya. Kau tahu."

Percakapan itu menjadi sesuatu yang tidak perlu. Mereka tahu, saling memahami apa yang ada di dalam hati seperti memantulkan isi diri sendiri. Namun keduanya setuju tanpa kata: mereka ingin bicara. Mungkin hanya ingin mendengar suara satu sama lain.

Karena ini akan menjadi yang terakhir.

"Kau akan kembali?"

Gadis berambut hitam menelan jawabannya. Untuk sejenak, ia tidak yakin tempat mana yang dimaksud pertanyaan itu. Kemudian senyum getir. Seharusnya ia tahu tempat mana yang dimaksud.

"Ya," jawabnya. "Soul Society adalah rumahku." Untuk suatu alasan, si gadis merasa berbohong.

"Lalu kau akan kembali?"

Sesaat, pertanyaan itu seperti serupa dengan sebelumnya. Namun gadis berambut hitam mengerti. Ia tahu, kali itu, tempat mana yang dimaksud.

"Tidak." Saat itu, si gadis bersungguh-sungguh.

Hening.

Jika si pemuda bertanya alasan, maka itu dilakukan hanya untuk bersuara semata. Jauh di dalam, segalanya sudah jelas, dugaannya tidak akan keliru.

"Kenapa?" Tetaplah terucap.

"Kau tahu kenapa," si gadis membalas.

Rintik hujan mengisi keheningan sesaat itu. Gadis berambut hitam memandangi sesuatu yang tak dipahaminya. Ia tahu pemuda di sampingnya tahu. Mereka tahu alasannya. Namun seperti si pemuda tetap bertanya, si gadis tetap menjawabnya.

"Soul Society akan memastikan tidak lebih jauh melibatkan Kota Karakura. Sudah cukup. Menjaga keseimbangan jiwa di dunia adalah tugas kami. Melibatkan lebih dalam manusia hanya akan mengacaukan alur yang ada." Si gadis berhenti sebentar. "Meski manusia itu mungkin sudah terlibat… tapi tidak ada kata terlambat untuk menghentikannya."

Tidak satu pun dari mereka yang berniat memperpanjang pembicaraan itu. Mungkin alasan itu memang nyata, namun mereka mengetahui alasan yang lebih fundamental di balik semua itu—alasan yang sebisa mungkin tak ingin mereka suarakan.

Tetapi mereka tahu, cepat atau lambat, alasan itu akan terucap.

Entah sejak kapan titik hujan menjadi semakin rapat dan besar. Kelabu nyaris menjadi hitam, dan bau basah menjadi kuat. Pakaian menempel ke kulit, helai rambut lunglai akibat berat air. Mereka masih tidak bergerak.

Pemuda berambut oranye mengepalkan tangannya begitu saja. Suara rendahnya beradu dengan gemercik air di udara. "Rukia, aku—"

"Jangan," si gadis memotong cepat. "Jangan katakan, Ichigo."

Dan mereka saling tahu, si pemuda tetap akan mengatakannya, seperti si gadis tetap akan melarangnya. "Aku mencintaimu."

"Jangan."

Terdengar konyol. Tapi mereka tahu itu benar. Seharusnya, itu benar. Sayangnya, tidak sekarang—tidak ketika segalanya sudah terlanjur dimulai dan berjalan.

"Kau tahu aku tidak pernah mendengarkan laranganmu, Rukia."

Si gadis tahu. Sejak dulu, sejak segalanya berawal, ia tahu. Dan ia juga tahu itu tidak akan berubah. Karena jika berubah, segalanya akan benar-benar berakhir.

Kalau bisa, gadis berambut hitam tidak ingin menjadi pihak yang mengucapkan alasan itu. Alasan yang jauh lebih realistis dari sekedar mengenai keseimbangan dunia jiwa. Tapi si gadis tidak punya banyak pilihan.

"Aku ini orang mati, Ichigo."

Pemuda berambut oranye terdiam. Ia tidak perlu mendengarnya, karena ia sudah memahaminya. Namun sekeras apapun hujan di antara mereka, suara si gadis terdengar juga.

"Aku hanya roh. Kau manusia. Kita tidak bisa."

Alasan itu terucap lebih cepat dari yang mereka duga.

Mereka sudah tahu. Sesungguhnya tidak perlu, tapi mereka merasa membutuhkan sesuatu untuk menampar agar mata mereka membuka. Tamparan itu mengenai mereka, namun ternyata mata mereka memilih tidak membuka.

Terkadang, menutup mata lebih baik dari membuka. Terkadang, menutup mata lebih mampu menunjukkan jalan untuk realita. Mereka berharap, dan tidak begitu sadar bahwa mungkin mereka akan memilih melalui jalan itu.

"Apa kau mau menunggu, Rukia?"

Kali itu, si gadis tidak benar-benar tahu. Untuk sesaat, ia tidak yakin bagaimana harus menegaskan hati dan membuat pilihan. Tapi ternyata bibir bergerak mendahuluinya, "Ya."

Senyum getir terlengkung di wajah pemuda berambut oranye. "Kudengar, ketika mati dan menjadi roh, seseorang akan kehilangan ingatan kehidupannya di dunia."

"Itu benar."

"Kalau begitu, mungkin aku akan melupakanmu."

Diam.

Mereka memang paham, saling melihat eksistensi satu sama lain hanya akan menambah luka yang ditorehkan realita. Tapi mungkin segalanya akan lebih baik. Semakin dalam luka itu, semakin besar bekas yang ditinggalkannya. Dan itu akan membantu mereka saling menusukkan kehidupan satu sama lain.

Jadi, untuk pertama kalinya sejak mereka berdiri di tempat itu, si pemuda menolehkan wajahnya. Pasang pandangan mereka bertemu.

"Meski begitu, kau akan tetap menungguku?"

Gadis berambut hitam mencoba berpura-pura, namun ia tahu itu tidak berhasil. Si pemuda pasti menyadari air mata yang bersembunyi memanfaatkan titik-titik hujan di wajahnya.

"Aku menunggumu."

Tidak ada kata 'akan'. Karena tanpa kata itu, segalanya akan menjadi fakta yang tidak berubah dalam waktu seperti apa pun.

Mereka berpandangan, saling melebur diri dalam eksistensi satu sama lain. Luka itu sudah tertoreh. Cukup dalam untuk meyakinkan bahwa mereka tidak akan saling melupakan.

Tidak ada saling menyentuh. Karena daripada memperdalam luka, sentuhan satu sama lain hanya akan menyembuhkan perih. Mereka paham, maka mereka memilih luka sebagai bayaran pengharapan.

"Kau tahu, Rukia?" Suara si pemuda nyaris tertelan hujan.

"Aku tahu," si gadis memotongnya.

"Aku belum selesai."

"Aku tahu."

Jeda.

"Ya. Kau tahu." Senyum getir masih terhias di wajah pemuda berambut oranye. "Hujan ini tidak akan berhenti."

Mata gadis berambut hitam berhenti di tetes air yang deras menjadi dinding abstrak di antara wajah mereka. Si gadis meniru senyum di wajah pemuda di depannya. "Sudah kubilang, aku tahu."

"Ya."

Hujan menjadi sebuah kata ambigu, tapi tidak untuk mereka. Mereka tahu, mereka saling memahami. Dalam satu titik egois di sudut hati masing-masing, mereka ingin menjadi awan bagi satu sama lain. Sehingga tidak akan ada hujan selain untuk mengumandangkan nama satu sama lain. Sehingga hujan menjadi batas tipis yang menyatukan satu sama lain dalam basah kerinduan.

"Aku menunggu. Sampai kau menghentikan hujan ini, Rukia."

Anggukan pelan.

Dengan begitu, mereka saling menunggu.

Ketika mereka bertemu kembali saat ini, segalanya memang sudah usai. Mereka tahu, ketika mereka bertemu kembali saat ini, segalanya akan menjadi yang terakhir. Seperti segalanya, kehidupan juga akan usai. Kehidupan akan usai, namun tidak menjadi yang terakhir. Mereka tahu, akan ada lembaran yang baru.

Suatu saat nanti.

Mereka tidak tahu apakah lembaran mereka akan saling mengisi nanti. Mereka tidak tahu apakah luka yang membekas akan saling mengingatkan nanti. Satu yang mereka tahu hanyalah bahwa hujan akan membatasi sampai mereka bertemu kembali.

Ketika mereka bertemu kembali nanti, mungkin segalanya bisa dimulai dari awal lagi.
.

#

.
"It's better to hope than despair.
It's possible to go over the limit,
but nobody can do it easily."
(—Gete)

Custom Post Signature

Custom Post  Signature