“Remember that wherever your heart is, there you will find your treasure.” (― Paulo Coelho, The Alchemist)

[fiksi] Virtual

Sunday, January 9, 2011
Sebuah fiksi. Di-publish di fictionpress pada 10 Januari 2009.


Ringkasan: Mereka gila. Benar. Mereka gila. Kita tidak. Kau tidak. Jadi, apa kau tidak tertarik untuk merasakan mati?nyawa bukanlah sesuatu yang patut dipermainkan


disclaimer: gambar bukan milik saya

.
#
.


VIRTUAL

[ketika maya dan nyata merupakan ambiguitas]


oleh: Farah Zi

.
#
.


Apa kau tidak tertarik untuk merasakan mati?

Kata-kata itu berderet rapih di layar komputerku. Aku menyerengit, menatap aneh ketikan dengan font berwarna merah darah itu. Aku diam sejenak—berpikir. Kemudian mulai menyentuh tuts keyboard-ku.

Apa mati itu enak?

Itu yang kuketikkan pada kolom kosong di layar. Hanya berselang beberapa detik sebelum balasan muncul di layar.

Ya. Kau bisa terlepas dari segala penderitaan yang kau alami di dunia sialan ini.

Penderitaan… mungkin pernyataan tadi ada benarnya. Tapi—yang benar saja. Aku belum ingin mati. Konyol. Aku belum segila itu untuk mati. Meski aku mungkin sudah semenderita itu untuk menginginkannya.

Kuraih mouse berwarna hitam, menggunakannya untuk menutup halaman sebuah website berlatar hitam, kemudian bergerak untuk mematikan komputer.

Aku menjatuhkan tubuh beratku ke kasur berantakan di sudut. Entah sejak kapan kamar ini menjadi begitu suram di mataku. Semua terlihat tidak pada tempatnya. Lukisan abstrak itu, tempat sampah itu, kaca besar itu, juga tumpukan baju itu. Tapi yang sesungguhnya tak pada tempatnya adalah aku. Ya, aku tidak seharusnya berada di sini.

Semarang, sebuah kota yang begitu kurindukan. Tidak ada yang bisa menggantikan kota dan kehidupanku itu. Tidak kepindahan kami ke kota ini tiga tahun lalu, tidak juga sekolah aneh itu. Sekolah dimana para muridnya memiliki hobi menindas siapa saja yang mereka anggap tak sejajar—aku misalnya. Bukan itu sebenarnya. Aku masih merasa bahwa aku kuat dan bisa bertahan—jika saja Papa dan Mama tidak sejauh ini dariku.

Deru suara mobil menyadarkanku. Aku bergegas bangun, dengan cepat membuka pintu depan. Mereka sudah pulang. Dengan segurat kegembiraan dan kelegaan karena terpisah dari kesendirian, aku menyambut mereka.

"Ana? Sudah malam begini, kenapa belum tidur?" ujar Mama sambil masuk dan membanting tumpukan berkas di tangannya ke arah sofa. Ia menyandarkan tubuhnya sejenak di sofa biru itu sebelum membuka sepatu pantofel hitamnya.

Aku hanya diam mengamati ketika Papa masuk dan menghela nafas. Tangannya meraih dasi hijau yang dikenakannya, membuka dengan malas.

"Macetnya benar-benar nggak berubah meski lagi musim libur begini," gumam Papa lelah.

"Kamu sudah ngerjain PR untuk besok belum?" ujar Mama sambil mengaduk isi tasnya, entah mencari apa.

Aku tertawa miris dalam hati, rupanya PR terkutuk itu lebih penting daripada makanan yang kumakan siang tadi.

"Sudah, Ma," jawabku pelan.

"Besok nggak ada ulangan? Sana belajar," sahut Papa yang sedang membuka sepatu kulitnya.

"Kamu malam-malam begini belum tidur juga, jangan kebanyakan main komputer!"

"Sebentar lagi kamu kelas tiga kan? Harusnya kamu belajar supaya bisa masuk universitas negeri."

"Besok jangan lupa kamu bimbel, awas kalau sampai membolos."

Mama terlihat membuka anting perak berbandul yang dikenakannya seraya mengujar pada Papa, "Berkas yang tadi sudah dikasih kan?"

"Yang mana"

Mama mengacak tumpukan kertas di atas sofa, merundingkan sesuatu yang sama sekali tidak kumengerti dengan Papa. Mereka bahkan tidak menyadari ketika aku beringsut perlahan dari tempatku, kembali ke sarang gelap yang suram—kamarku.


Tengah malam baru tiba ketika aku meringkuk di kasurku. Daripada tidur, aku memilih untuk meratapi nasibku yang menyedihkan. Meratapi takdirku yang sama sekali tidak bagus.

Aku tak pernah menyangka bahwa pindah ke Bekasi adalah hal terburuk yang kualami dalam hidupku. Papa dan Mama menjadi dua sosok asing yang tak kukenali lagi. Keluhan mengenai kemacetan, selalu kudengar ketika mereka pulang. Setiap hari aku pulang sekolah hanya untuk mendapati rumah kosong dengan serantang makanan—katering yang dipesan Mama—di depan pintu. Sungguh tempat yang berbeda dari kota tempatku dibesarkan.

Pergaulan yang sama sekali berbeda, perlakuan yang sama sekali tidak adil dan menyakitkan. Aku sudah terlalu lelah untuk bertanya mengapa aku harus mengalami semua itu. Dimana keberadaanku hanya berarti ejekan di mata semua teman-teman. Dimana orangtuaku sama sekali tidak ambil pusing dan tidak percaya semua ceritaku. Mereka bilang aku terlalu sensitif, tidak mengerti humor, lalu menyuruhku beradaptasi.

Baiklah, adaptasi—pecuma. Aku mencoba, dan nyatanya sama sekali tidak berhasil. Semakin aku mencoba bergaul, semakin parah penindasan yang kualami.

Mengapa Papa dan Mama tidak mengerti? Aku menderita! Kesibukan mereka membuatku semakin gila! Aku anak tunggal, tidak punya teman, ditinggal mereka sendirian utnuk bekerja, lalu aku mengalami masa-masa menjijikan saat remaja!

Aku menghela nafas panjang, kemudian beranjak duduk di depan komputer yang menyala sejak tadi. Jari-jariku mengetikkan alamat website yang akhir-akhir ini rajin kukunjungi. Website aneh—sebuah forum tak lazim tempat berkumpul orang-orang penuh masalah dan ingin mati. Sebuah forum yang kutemukan secara tidak sengaja setengah tahun lalu.

Welcome back, Anna. Apa kematian menghampiri pikiranmu hari ini?

Itu adalah pesan dari teman virtual yang paling sering ber-chatting denganku. Aku tak tahu siapa dia. Yang kutahu hanyalah bahwa ia seorang mahasiswi, yang sudah berkali-kali mencoba bunuh diri karena stress menghadapi hidupnya.

Halo. Mungkin belum. Entahlah.

Balasan sederhana yang sungguh-sungguh jujur.

Anna, tidakkah kau merasa jenuh dengan semua kegilaan di luar sana?

Kegilaan katanya? Apa orangtua yang meninggalkanmu lalu datang dengan sederet perintah untuk belajar itu termasuk? Apa penindasan yang kualami sepanjang hari di sekolah itu termasuk?

Kau tahu, aku lelah. Ya—aku lelah dengan semua itu.

Aku memang lelah. Tiga tahun ini terlalu berat. Kapan aku akan keluar dari lingkungan gila ini?

Kalau begitu mati adalah jalan terbaik untuk lepas dari semuanya.

Gadis ini tak pernah behenti mengetikkan kata mati sejak pertama kami bertukar pesan. Mati adalah obsesinya. Sejauh ini ia sudah mencobanya lima kali, dan semuanya digagalkan.

Bukankah dengan mati kau melarikan diri?

Ya, itu adalah pendapatku mengenai bunuh diri.

Kau salah Anna. Biar kuberi tahu sesuatu. Orangtuamu gila. Teman-teman yang menindasmu gila. Semua gila. Yang waras sebaiknya mati, itulah yang seharusnya.

Aku memang bercerita tentang semua yang kualami padanya. Dia selalu berkata mengenai kematian. Entah kenapa aku mulai merasa semua yang dikatakannya masuk akal.

Haruskah aku mati?

Apakah itu yang kubutuhkan?

Kau waras—sepertiku. Ya, kita harus meninggalkan semua kegilaan ini.

Kegilaan. Sungguhkah di sekitarku adalah kegilaan? Apakah ini hanya rasa kesepian yang berlebihan?

Apa dunia di sekitarku termasuk 'kegilaan' menurutmu?

Agak lama sebelum muncul balasan panjang darinya.

Kau mulai gila, Anna. Tentu saja. Apa kau pikir teman-teman berengsek yang selalu mengejekmu, menertawaimu, membentakmu, yang pernah mendorongmu hingga jatuh, yang menyiram wajahmu dengan air pel, apa mereka kau sebut tidak gila?

Benar.

Mereka gila.

Agak lama sebelum balasan tiba.

Nah, itu dia. Lalu apa orangtua sialan yang tak peduli padamu, tak percaya akan ceritamu, selalu menyuruhmu belajar siang-malam di dalam sekolah laknat, apa mereka tidak gila?

Itukah yang mereka lakukan selama ini? Papa dan Mama yang menjadi aneh?

Mereka gila.

Benar kan? Orangtua macam apa yang seperti itu?

Benar. Mereka gila. Kita tidak. Kau tidak.

Ya, aku tidak gila. Lingkunganku adalah satu-satunya yang salah di sini.

Benar.

Lalu—apakah mati adalah satu-satunya yang kubutuhkan saat ini?

Apa kau mulai bisa merasakan bahwa kematian menjadi mimpimu?

Kata itu tak pernah begitu meracuni otakku seperti saat ini. Belum—sejak setengah tahun bergabung di forum ini, atau mungkin itu hanya perasaanku?

Sepertinya begitu.

Baiklah kurasa sekarang aku mulai gila.

Lalu tunggu apa lagi? Kau bebas. Aku diawasi 24 jam setiap hari setelah percobaan terakhirku gagal. Sudah kuduga seharusnya aku tidak mengiris pergelangan tangan. Lebih baik waktu itu aku terjun saja dari jendela.

Penyesalan yang aneh. Bagaimana kau bisa memilih untuk mati dengan tubuh berhamburan daripada mati dengan anggun—dikelilingi darahmu sendiri? Aku mulai berpikir akan sesuatu saat ini.

Ketika mereka menggagalkan aksimu bunuh diri, apa sikap mereka bertambah baik padamu?

Pertanyaanku melintas begitu saja di otakku. Aku menunggu agak lama sebelum membaca pesan balasannya.

Yeah. Munafik. Ketika mereka melihat luka goresan di pergelangan tanganku, mereka memandangku aneh. Ada yang meminta maaf, ada yang tiba-tiba menjadi perhatian, dan pastinya mereka tidak mengejekku lagi. Tapi aku tidak puas. Aku tidak butuh semua kenormalan itu. Aku hanya ingin mati.

Benarkah itu?

Jika benar… artinya aku punya satu kesempatan untuk mengubah nasib di sana.

Jika untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan aku perlu mengiris pergelangan tanganku sedikit, sepertinya… itu tidak terlalu buruk.

Apakah bunuh diri dengan menggores pergelangan tangan adalah cara yang paling baik?

Pertanyaanku mulai semakin melantur tidak wajar. Tapi aku tak segila itu, logikaku masih tersisa—sedikit.

Aku tidak ingin mati begitu saja. Aku hanya ingin… semua bertambah—sedikit—baik.

Jika kau ingin langsung mati—tidak. Tapi jika kau ingin memberi pelajaran pada semua yang menyakitimu—ya. Itu cara paling dramatis dan paling membuat orang lain merasa bersalah.

Aku berpikir sejenak, di otakku berputar sebuah rencana.

Mungkin besok aku akan pergi untuk membeli silet.

Benda itu yang biasa digunakan, kan? Aku sering melihatnya di film.

Silet? Benda kecil itu tidak akan berhasil. Gunakan pisau.

Pisau? Apa tak akan menyakitkan? Ah, aku gunakan silet saja. Lagipula aku tidak bermaksud mati seutuhnya.

Berapa lama aku bertahan sebelum mati kehabisan darah?

Kita lihat apa yang bisa dilakukan sebelum 'mati'. Apa aku akan sempat untuk menulis pesan kematian dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku? Menarik sekali.

Pengalamanku, sepuluh menit setelah menggores, mereka menemukanku dan aku selamat. Itu pun irisan yang cukup dalam. Jadi mungkin sekitar—lima belas menit?

Cukup untuk menulis panjang lebar penderitaanmu dengan darah di dinding rumah. Baiklah, aku sudah gila sekarang.

Begitu? Baiklah. Terima kasih banyak atas info-mu.

Aku mengetikannya, menunggu balasan terakhir untuk pesan hari ini.

Kita akan bertemu lagi, di dunia lain. Dimana hanya yang waras yang akan bertahan. Aku iri karena kau bisa pergi lebih dulu. Tenang saja, cepat atau lambat aku akan menyusulmu, Anna.

Aku merinding. Gadis itu memang gila. Tapi aku juga, karena aku mendengarkannya. Lupakan—semua rencana itu terlanjur berputar di otakku.


Hari yang kunanti dengan gelisah akhirnya tiba. Hari ini tepat sekali, aku meliburkan diri dengan alasan sakit. Papa dan Mama sudah berangkat kerja pagi-pagi. Aku juga sudah memastikan bahwa mereka pulang seperti biasa. Jadi di sinilah aku. Sendiri.

Kesendirian ini biasa kuhabiskan untuk menangis, membanting barang-barang, atau belajar. Baiklah, yang terakhir itu lelucon. Bagaimana aku bisa belajar jika setiap detik di sekolah kuhabiskan untuk gelisah dan menahan tangis? Semua sudah semakin tidak wajar, tidak pada tempatnya, dan ide gila ini melintas di otakku—terima kasih pada forum aneh di internet itu.

Waktu sekarang menunjukkan pukul 19.30. Hanya tersisa beberapa jam bagiku. Papa dan Mama bekerja dalam perusahaan yang sama, dan hampir dapat dipastikan mereka selalu tiba di rumah tepat pada 21.15. Kebiasaan tepat waktu yang menguntungkan.

Saat ini aku duduk di sofa, memandang—bukan menonton—acara di televisi. Hatiku sedikit gelisah dengan rencana ini. Tapi nyatanya aku tak bisa mundur lagi.

Baiklah, silet sudah ada di saku kemejaku. Pintu depan sudah tidak kukunci agar Papa dan Mama bisa menemukanku secepatnya. Tinggal menunggu hingga waktu tiba.

Oh, hatiku berdegup keras. Kali ini aku harus berani. Aku harus melakukan sesuatu.
Tenang saja, semua sudah kusiapkan dengan matang. Sakit sedikit, lalu keesokan harinya aku akan membuka mata di rumah sakit, dengan orang tua yang khawatir padaku, teman-teman yang iba padaku, dan luka hatiku yang tertutup.

Semua akan membaik. Ya—aku percaya itu.


Jam menunjukkan tepat pukul 21.00.

Lima belas menit lagi mereka pulang. Aku sudah menulis surat yang menjelaskan alasanku—kesepianku karena pekerjaan Papa dan Mama, hal tidak enak yang kualami di sekolah, serta penekanan bahwa aku lelah dan tidak kuat dengan segala tekanan yang kujalani. Menjalani hidup seperti ini lebih lama—lebih baik aku mati.

Aku tersenyum kecil. Kadang sinetron tidak jelas di layar kaca itu bisa mencontohkan sesuatu yang menarik juga.

Aku menarik nafas panjang, hatiku berdegup keras ketika aku meraih silet kecil di atas meja.
Baiklah, ini dia. Seperti kata teman virtualku, lima belas menit ketika ia mengiris dalam—dengan pisau. Artinya jika aku menggunakan silet, dan tidak terlalu dalam, mungkin bisa bertahan dua puluh menit.
Aku bangkit dari sofa, hanya untuk duduk di atas karpet hijau yang berada di bawahku. Posisi ini pas sekali. Aku duduk di depan meja kaca, menghadap pintu. Jika Papa dan Mama pulang mereka akan melihat semuanya dalam sekejap.

Aku melirik jam di dinding. 21.05.

Baiklah, sekarang waktunya.

Aku membuka kertas kecil yang membungkus silet itu. Tanganku agak bergoyang ketika benda tajam itu kupegang hati-hati.

Aku mengulurkan tangan kiriku, bergetar hebat ketika menempatkan silet tepat di pergelangan tangan.

Baiklah Anna, kau bisa melakukannya. Ini tidak sakit, kau akan segera selamat. Kemudian semuanya membaik. Seperti kata pepatah: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Ini tidak sakit. Kau bisa.

Waktu terus berjalan ketika aku menelan ludah. Aku berusaha menenangkan jantungku yang berdebar keras, keringatku yang mengucur deras. Tanganku bergetar, tapi aku memberanikan diri.

Kau bisa! Kau bisa! Ini demi kebahagiaanmu! Kau tak akan mati!

Lalu aku melakukannya. Kugoreskan silet itu tepat di atas nadi pergelangan tangan sambil memejamkan mata. Rasanya perih sekali, tapi tidak sesakit yang kuduga. Kemudian aku menggoresnya lebih panjang.

Malangnya, tangan yang bergetar membuat irisan yang kulakukan terlalu dalam dan terlalu panjang. Aku membanting silet berdarah itu ke lantai.

Memberanikan diri, aku menatap luka itu. Cairan merah segar mengalir deras dari luka itu. Dengan cepat menetes ke lantai, menodai meja kaca, karpet, juga kakiku. Cairan itu mengalir begitu deras, menyisakan rasa sakit aneh yang membuatku merintih.

Ini tidak apa-apa kan? Aku tidak akan mati kan?

Tentu saja Anna… kau pasti selamat. Lima menit lagi Papa dan Mama pulang, mereka akan menemukanmu.

Aku berusaha mengalihkan pikiranku dari cairan merah yang terus mengalir, menyebarkan bau anyir dan membasahi kulitku. Aku terus menenangkan diri bahwa semua baik-baik saja.
Lancar, terkendali dan sesuai rencana.

KRIIING!

Dering telepon nyaris membuat jantungku copot. Aku merasa tubuhku mulai lemas ketika memandang telepon di sudut ruang tamu. Benda itu mengagetkan saja.

KRIIING! KRIIING! KRIIING!

Telepon itu terus berdering tanpa bisa kujawab. Lupakan saja, mesin penjawab akan melakukannya untukku. Dering itu terus berulang beberapa kali sebelum bunyi khas terdengar.
KLIK. Silahkan tinggalkan pesan setelah—KLEK.

"Anna? Ini Mama. HP kamu mati, jadi Mama telepon ke rumah. Sakit kamu nggak tambah parah kan?"

Mama? Untuk apa Mama menelepon? Jarang sekali, kecuali

Tiba-tiba aku merasakan ketakutan aneh. Firasat buruk menderaku, memaksaku melupakan rasa sakit dan dingin yang menjalar di tubuhku seiring dengan darah yang terus mengalir. Semoga bukan hal yang kupikirkan.

Jangan biarkan firasat ini menjadi kenyataan.

"Maaf, tiba-tiba tadi Papa ada meeting mendadak. Ini baru selesai. Kami akan tiba sekitar… satu jam lagi. Kamu istirahat saja ya. Kami segera pulang."

TUUTtelepon terputus.

DEG.
Ternyata firasat buruk itu menjadi kenyataan. Detik itu juga aku merasa jantungku berhenti.
Apa katanya barusan? Mereka baru akan tiba satu jam lagi? Astaga—aku akan kehabisan darah sebelum itu!

Ketika itu aku merasakan tubuhku begitu lemas. Aku memandang luka yang tak berhenti mengeluarkan darah. Ketakutan hebat menjalar di hatiku. Ini tidak termasuk dalam rencana.

Apa artinya aku akan mati? Sungguhan?

Darah mengalir tanpa henti, seperti mengejekku dan menjawab—ya.

Tidak! Tidak! Bukan ini yang kuinginkan!!!

Aku berusaha beranjak, tapi ternyata tubuhku sudah begitu lemas karena mengeluarkan banyak darah. Aku terjatuh, terjembab dalam genangan darahku sendiri. Bau anyir dan basahan yang merembes di sekujur tubuhku membuatku semakin ketakutan.

Aku harus keluar dari sini, seseorang harus menemukanku. Aku tidak mau mati. Aku belum mau mati!
Air mata mulai menetes dari sudut mataku. Aku merangkak perlahan, menggerakan tubuh beratku untuk menuju pintu depan—yang terpisah cukup jauh dariku.

Darah itu tak berhenti. Sudah lima menit setelah aku menggoesnya, dan pandanganku mulai kabur. Apa ini karena tadi aku menggoresnya terlalu dalam?

Tidak—ini tidak boleh terjadi. Aku tidak mau hidupku berakhir bunuh diri. Semua ini hanya sugesti dan permainan dunia maya! Ini tidak boleh menjadi nyata!

Tiba-tiba bayangan pelajaran Agama yang kulalui di sekolah berputar di benakku. Aku ingat apa kata guruku, bunuh diri adalah dosa besar yang tak akan diampuni oleh Tuhan.

Oh tidak, apa yang sudah kulakukan?

Aku menangis, setengah mati aku berusaha merangkak, namun tubuhku begitu lemas. Pandanganku mulai menghitam. Aku berteriak meminta tolong—namun hanya rintihan kecil yang terdengar. Tak ada lagi rasa perih yang kurasakan.

Tangan kiriku mati rasa.

Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Otakku tak mampu berpikir lagi—kepalaku pusing luar biasa. Aku merasakan keringat dingin, dan mulai tak merasakan kakiku.

Bukan ini yang kuinginkan… Papa… Mama… aku belum ingin mati…

Meski penderitaan yang kualami sulit dan menyakitkan, aku masih ingin hidup. Aku ingin menjalani hidupku. Aku ingin bisa berubah, aku ingin tidak lagi menjadi sosok pendiam yang tak pernah bergaul. Aku masih ingin bertemu Papa dan Mama meski hanya beberapa jam saja setiap hari. Tuhan… kumohon ampuni aku…

Lamat-lamat, kesadaranku menurun. Bau anyir semerbak nyaris tak lagi dapat kucium. Aku hanya bisa memandang genangan merah di depan mataku, yang membasahi sekujur tubuhku.

Aku belum mau mati…

Lalu semua mulai gelap. Semua tak lagi jelas terlihat, tak lagi jelas terasa.

Inikah akhir bagiku? Inikah hukuman untukku karena mencampuradukan yang maya dan yang nyata?
Semua berputar, mulai redup, dan kurasakan nafasku semakin sesak.

Sayup-sayup, ketika aku hanya berpegangan pada sepotong kesadaran terakhir, aku mendengar suara pintu terbuka.

Sesorang… seseorang menemukanku… aku tertolong…

Atau… apa cuma halusinasi?

Lalu semua semakin pekat… makin hitam… Kesadaranku menipis, kurasakan nafasku semakin memburu.

Kumohon… aku masih ingin… hidup.

.

#

.

.end.

.

Be First to Post Comment !

Custom Post Signature

Custom Post  Signature